Jumat, 25 Maret 2011

Aksi Petani Dibalas "pendudukan" Tentara - Bag.2

Siapa pun akan miris membayangkan bentrok massa yang dapat saja ditimbulkan dari tindakan profokasi tentara menjelang kedatangan Bupati untuk mengadakan peninjauan lapangan. Pagi itu, udara masih cukup dingin bagi mereka yang belum beraktifitas. Mayoritas petani desa Setrojenar memang berniat menunda pekerjaan sawahnya sejak pagi buta, dan memilih berkumpul ke perempatan desa untuk suatu hal penting. Bupati akan datang untuk melihat sebuah fakta sejarah tanah pesisir yang selama ini diabaikan oleh TNI-AD.  
    Tapi mungkin aksi "pendudukan" lokasi sudah diseting sebagai manuver rendahan yang implikasinya cuma mancing emosi warga dan rawan "amoek". Dandim yang berasal dari kesatuan baret merah ini, termasuk golongan yang otaknya tidak encer; kalau tak boleh disebut bebal. Petani UrutSewu, sejauh ini, tak mau tergelincir dalam jebakan kekerasan. Dan potensi amuk Kamis (24/3) siang itu dapat diminimalkan, meski belum ada sentuhan manajemen konflik yang secara signifikan mampu mencetuskan stratak baru. 

Konfrontasi "Budheg" Sejarah
    Statement Dandim soal bukti "pal-budheg" adalah kekolotan yang jadi urusan dia berikut karakteristiknya, yang menunjukkan tak lebih dari dungunya tentara. Teori bahwa pal budheg ini adalah tanda ketinggian makin mengesahkan kebebalan dan waton beri pernyataan. Pertanyaannya sederhana, ketinggian dari mana? Dalam idiom dan teori kearifan lokal, sikap ini disebut mbeguguk motha waton. Beruntung, petani UrutSewu punya saksi hidup pelaku pemetaan Klangsiran tanah tahun 1932. Ada mbah Karto Bambung, ada pak Samidja, mbah MangunSastro, mbah Kasan Simur, mbah Redjo Saiman, dan banyak lagi saksi pelaku sejarah Klangsiran itu masih hidup meski telah redup. 
      Beruntung juga lantaran Pal-Budheg itu tak bisa disogok duit segepok, atau jabatan seronok. Kalau pun saksi sejarah ini dibuang dan saksi hidup telah tiada; dokumentasi digitalnya masih ada. Yang mendesak dibutuhkan adalah penuntasan kemelut UrutSewu. Deligitimasi bercokolnya TNI-AD di kawasan ini penting untuk disegerakan, sembari membelejeti kepentingan-kepentingan konspiratif tentara yang berkedok kebesaran kepentingan negara. Semua "topeng" ini harus disingkirkan, dengan cara melawan yang brilian. 

Potret Potensi "amoek" Massa 
Pengalaman buram yang harus menjadi catatan merah pemerintahan sipil Kebumen dan patut dipertimbangkan kembali mengenai keberadaan tentara yang makin tak jelas keuntungannya buat masyarakat UrutSewu. Apalagi karena setelah memprovokasi "amoek" massarakyat desa, dalam agenda kunjungan Bupati. Tak urung, paska kunjungan lapangan ini sang Kumendan minta dikawal banyak anak-buahnya hanya untuk berbicara menghadapi 5 wakil petani UrutSewu di depan Bupati.
Ini bukan watak satria, bagi langkah dan keputusan politik pendudukannya, yang nyaris timbulkan chaos!Pengalaman buram yang harus menjadi catata
     Sejatinya massarakyat UrutSewu kemarin itu telah dikuasai "ghiroh" perang dan bertekad mengusir tentara yang menduduki desanya. Beruntung masih dapat dikendalikan korlap sehingga potensi konflik dapat dinetralisir. Massarakyat bukan lagi mempersenjatai dengan bambu-runcing. Tetapi telah menghunus pedang dari balik kausnya, menenteng celurit di tangan kanannya, dan segala bentuk senjata tajam lainnya. Bahkan seseorang nekad memanggul bom mortir yang belum lama ini juga ditemukan diperam di lahan pertanian.


"Jangan merusak hasil dari perjuangan kita selama ini dengan kekerasan", begitu lah himbauan yang nampak menyihir kesadaran massa. 

Dan pelajaran terpenting dari semua ini, tak ada lain, dominasi tentara di Indonesia, termasuk di kawasan pertanian dan agrowisata UrutSewu; harus segera diakhiri !  Perjuangan belum selesai...

0 komentar:

Posting Komentar