HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Kamis, 03 November 2011

Mengenal Entitas Urutsewu, Catatan Tata Ruang Wilayah - 1


Fase Pembahasan Raperda RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kab. Kebumen di lembaga legislatif (2/11), patut disinyalir bakal diagendakan secara diam-diam. Diakui maupun tidak, demikianlah yang dikesankan oleh banyak orang yang merefiew kehadiran draft serupa. Paparan Draft Raperda Tata Ruang Wilayah yang sejak beberapa tahun lalu memunculkan kontroversi, terutama mengenai pemanfaatan kawasan pesisir selatan Kebumen, yang secara massif mendapat kecaman protes ribuan petani Urutsewu sejak 2007-2009; maka kini rancangan Perda ini dilimpahkan ke lembaga legislatif tanpa diketahui publik secara luas. 

Dalam draft yang lama, kawasan Urutsewu bakal ditetapkan sebagai apa yang dalam idiom tata ruang disebut sebagai kawasan hankam yang lalu mendistorsi prasangka militeristik menjadi “tanah milik” TNI-AD. Tetapi implikasinya ditengarai amat jelas bakal menegasi atau menghapus hak sejarah, hak adat dan hak pemilikan petani atas tanah-tanah di kawasan pesisir selatan Jawa itu.
Wacana tata ruang yang tak berkeadilan dalam perspetif kerakyatan, kini menyeruak lagi. Tak salah jika publik menaruh curiga. Karena kontroversi penyusunan draft yang mengatur pemanfaatan kawasan ini, dan telah memicu protes jadi gerakan penolakan massa rakyat luas, tidak pernah direspons pemerintah dengan upaya mediasi yang baik. Dalam arti meninggikan bargaining-position rakyat petani dengan segala kondisi dan perkembangan obyektifnya. Padahal di dalam rancangan yang lama, rencana pemanfaatan pesisir selatan (kawasan Urutsewu) untuk kawasan hankam dan latihan TNI (bahkan juga berimplikasi diterbitkannya ijin masuk bagi investor tambang besi di kawasan yang sama); memiliki kerentanan yang tinggi dari berbagai aspek.

Issue mengenai devisit anggaran daerah jadi semakin melegitimasi dalih-dalih dari prasangka penguasa yang mempanglimakan investasi, alih-alih guna mendongkrak pendapatan asli. Apakah mandat sosial dan otoritas daerah telah jatuh ke tangan yang salah ? Sementara penolakan terhadap segala bentuk pemanfaatan tata ruang yang mengancam kepentingan petani dan ekologi pesisir bumi; justru tak dipermanai. Sementara pemanfaatan suatu kawasan secara tak bijaksana, seperti tak pernah mengingat akan darah yang pernah tertumpah dan jiwa yang melayang di atasnya. Bagi masyarakat adat Urutsewu, jika akan memaksakan kehendak untuk mengeksploitasi kawasan pesisir, baik dengan dalih kepentingan negara maupun kepentingan tentara yang bergeser ke pengusaha. Maka itu artinya akan memperpanjang kemelut masai di Urutsewu. Terlebih karena petani menolak dibodohi para penggenggam otoritas daerah.     

I.                    Urutsewu Sebelum Bentrok

Sebelum puncak konflik yang berujung bentrok Tragedi Sabtu (16/4) di Blok Pendil desa Setrojenar, dan sejak jauh waktu sebelumnya memang TNI-AD melaksanakan latihan dan ujicoba senjata berat (alutista) di sana. Bahkan sejak pra Kemerdekaan, tentara Kumpeni dan Dai Nippon juga telah memanfaatkan kawasan ini. Baik sebagai zona pertahanan maupun arena latihan perang. Paska Kemerdekaan, selama lebih dari 27 tahun memang tidak menimbulkan friksi dengan masyarakat, terutama dengan petani pesisir selatan yang populasinya telah melewati lebih dari 4000-an KK pada sebaran yang mencakup wilayah 3 kecamatan dan 15 desa. Nihilnya friksi, tidak berarti tak ada menimbulkan masalah. Hanya saja, reaksi masyarakat waktu itu, selalu dapat diberangus serta dimarginalisasi oleh hegemoni Orba.

Konflik tidak muncul karena pada era sebelumnya, TNI-AD menyadari kedaulatan petani atas tanah-tanah di kawasan itu. Penolakan masyarakat pesisir juga telah dimulai sejak awal penetapan TNI berlatih di sana, yakni pada fase mulai dibangunnya Dislitbang-AD berikut fasilitas pendukungnya  pada rentang tahun 1980-an. Di era awal, peruntukan pusat latihan sebenarnya ada di desa Ambalresmi, Kec. Ambal. Tetapi diprotes petani dengan dukungan kalangan ulama, karena telah menimbulkan ekses jatuhnya korban nyawa anak petani Ambalresmi. 

Atas inisiasi seorang Kades Setrojenar, Moh. Gozali; pusat latihan lalu dipindah ke desa Setrojenar.  Pada tahun 1982 mulai lah dibangun fasilitas Laboratorium Dislitbang-AD di atas tanah seluas 2 Ha yang terletak di Blok Pendil lantur tepi hunian penduduk desa. Pengadaan tanah bagi pembangunan Dislitbang-AD ini diperoleh dari jual-beli tanah bengkok desa ditambah tanah milik 4 petani desa, meski dengan proses yang kurang menghargai hak-hak pemiliknya. Keterangan lain yang mendasari pemanfaatan tanah pesisir, yang dalam Buku C desa diidentivikasi sebagai blok persil D.5 sebagai area latihan tentara; sebagaimana pernyataan Kades Durohman bahwa TNI-AD meminjam tanah (areal pesisir) untuk latihan perang dan lapangan raksasa ujicoba senjata berat.  

Akan tetapi dasar pinjam tanah ini, kemudian dijadikan legitimasi inventarisasi kekayaan negara dengan registerasi segala. Atau boleh jadi menggunakan legitimasi dari aspek sejarah lain bahwa tanah pesisir ini adalah “bandha kumpeni” yang pada paska proklamasi disebut dengan “tanah negara”. Pada tahun 1932 memang dilakukan pemetaan tanah di kawasan pesisir Urutsewu oleh pemerintah kolonial. Pada masa yang dalam idiom lokal disebut Jaman Klangsiran inilah muncul teori adanya “tanah negara” (sejauh tak lebih dari 250 meter dari air laut) sebagai produk dari sistem penjajahan. Tetapi karena penjajahan di muka bumi harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Maka sebagai bangsa yang cinta kemerdekaan bagi tujuan kemakmuran bersama; hapus pula lah semua warisan penjajah.

Tak ada tanah negara di Urutsewu, tak ada pula tanah tentara di sana. Pada masa pergolakan Clash atau yang disebut pula dengan jaman doorstuut, sejarah Kebumen-an punya garis demarkasi yang posisinya ditengarai dengan aliran sungai Kali Kemit yang hilirnya berhimpun di DAS Kali Banda atau DAS Telamaya. Garis demarkasi sungai ini memisahkan wilayah Kumpeni di sayap barat sungai dengan wilayah RI di bentang timur sungai atau Kali Kemit. Ada masing-masing berurutan ke timur dari Kali Kemit, terdapat Kali Abang, Kali Karanganyar, Kali Kethek, Kali Cengkong, Kali (irigasi) Tengok, Kali Lukulo, serta banyak sungai lain hingga Kali Rowo atau Kali Wawar di batas timur Kab. Kebumen dengan Kab. Purworejo. Tak ada tanah negara di Urutsewu, tak ada pula tanah tentara di situ.

a. Sistem Distribusi “lanturan” Tanah

Testimoni para saksi dan pelaku sejarah tanah di Urutsewu juga menyatakan demikian lah adanya. Khusus untuk kawasan pesisir selatan ini, terutama untuk blok lahan di selatan kampung hunian warga; sejak masa dan abad lalu berlaku sistem distribusi tanah pertanian yang dikenal dengan sistem Lanturan atau Galur Larak. Sistem agraria dalam pembagian tanah pertanian ini sangat mengedepankan keadilan sosial yang merata. Visi kemakmuran bersama ditransformasikan dalam sistem distribusi tanah yang mengatur pemilikan sesuai antara ketersediaan lahan dengan jumlah populasi petani.

Cara lanturan ini menghasilkan masing-masing keluarga tani mendapat satu bagian dan disebut sebagi-lantur. Sedangkan yang karena pertimbangan jumlah anggota dalam satu keluarga tani, secara internal, satu bagian dibagi lagi menjadi separuh dan disebut sigar-lantur. Itulah sebabnya, secara tipografis, sistem distribusi Galur Larak  ini menghasilkan pemilikan domestik lahan yang tak seberapa lebar, tetapi dengan panjang ratusan hingga ribuan meter.  Ukuran lebar pemilikan lahan di tiap desa jelas berbeda karenanya. Tetapi secara umum berkisar antara 3,5 meter;  4,5 meter hingga 7 meter. Sedangkan untuk panjang lahannya, sistem Galur Larak ini dimulai dari lantur (tepi) desa, hingga berakhir ujungnya di zona kisik atau bayuasin (tepi laut).

Secara administratif, pemilikan lahan ini diidentivikasi berdasarkan kategori kelas tanah, dengan standarisasi “pethuk” dengan mengutip data yang ada, yang berfungsi juga untuk penetapan dalam membayar pajak. Dan untuk lahan produktif di selatan hunian warga desa, dibagi menjadi persil-persil antara D.3 hingga D.5 di zona kisik tepi laut.    

b. Konsep Ekologi “Brasengaja” dan Entitas “Cah-Angon”

Meskipun demikian, tak seluruh peruntukan lahan bagi pertanian ini dimanfaatkan petani sebagai areal budidaya agraris. Faktor-faktor antara keterbatasan mobilitas tenaga produktif, intervensi iptek yang rendah dan kebutuhan lahan bagi pemenuhan aktivitas budaya lainnya, menstimulasi ide-ide pemikiran mengenai pemanfaatan bumi pesisir secara arif, tetapi sekaligus menjawab kebutuhan obyektif warga, khususnya petani. Dari perspektif ideal di sisi lainnya, juga berlaku pomeo yang memuat kearifan yang berporos pada keseimbangan pemanfaatan lahan.

“Jangan serakahi bumi dengan mengolah keseluruhan yang dimiliki. Sebab kita butuh manfaat lain”, bunyi pomeo itu. Inilah rumusan ideal yang melandasi cikal bakal munculnya zona yang dalam idiom lokal disebut blok “brasengaja”.  Yakni zona tertentu, dekat pesisir, yang sengaja diberakan atau tak dimanfaatkan untuk aktivitas budidaya pertanian. Tetapi, yang harus diingat, bukan berarti zona yang sengaja dibiarkan ini merupakan “tanah tak bertuan”. Di beberapa desa-desa kawasan Urutsewu, tanah-tanah di atas bentangan zona “brasengaja” ini adalah tanah bandha desa, tanah pemajekan dan tanah kisik. Tetapi secara adat, mengacu pada sistem distribusi tanah lanturan di masa lalu, di atas tanah-tanah itu melekat hak ulayyat.

Secara sosial, pemilikan ternak seperti kambing, biri-biri dan lembu bersinergi dengan tradisi kerja mengolah lahan tanaman (dan bahkan juga mengolah garam pada masa sirat sebagai bagian dari kerja produktif), kemudian menciptakan pola-pola yang mentradisi menjadi kebiasaan menggembalakan ternak petani. Tugas ini kemudian terbiasa diambil-alih oleh kelompok yang karena konsistensinya membentuk relasi unik yang diidentivikasi sebagai cah-angon. Secara harfiah, cah-angon adalah para penggembala ternak. Kelompok ini menjadi entitas sosial tertentu yang paling konsisten, meskipun didominasi oleh kelompok usia anak-anak dan pra-remaja.

Di perbatasan desa Brecong dan Entak (batas kecamatan Buluspesantren dan Ambal) terdapat grumbul atau dukuh Gunaman. Seorang warga bernama Djafar, bahkan menggembalakan semua ternak biri-birinya hinga populasinya mendekati angka 100 ekor, hanya dengan cara-cara gembala. Terik membakar kulit atau hujan badai dibelah petir pun, tak menghentikan konsistensinya. Apresiasi sosial terhadap kultur dan entitas cah-angon yang istiqomah ini pun tinggi. Di hampir semua desa-desa sepanjang kawasan agraris Urutsewu, di masa lalu, muncul tradisi entak-entik yang dilakukan bersamaan dengan Maulud, bulan dan hari milad nabi Muhammad. Kini tinggal ke dua desa itu yang tetap melestarikannya.    
 
(bersambung pada bab berikutnya)

Sabtu, 16 Juli 2011

Meluruskan Opini Sesat


Belakangan ini beberapa fihak menyoal eksistensi koalisi pengacara non-profit yang tergabung dalam Tim Advokasi Petani Urutsewu Kebumen (TAPUK). Tim yang berkomitmen mendampingi petani Urutsewu dalam konflik petani versus TNI-AD ini, bahkan telah dilaporkan oleh mereka yang menamakan dirinya sebagai  “sesepuh” Urutsewu ke polisi (SM, 9/6). Menurut para “sesepuh” Urutsewu, yakni Sukamto (Mirit), Martono (Ambal) dan Wantoro (Buluspesantren) dalam laporan pengaduannya ke Polres Kebumen, bahkan tembusan surat ini dilayangkan juga ke Gubernur hingga Presiden, dari Kapolda hingga Kapolri di Jakarta. Mereka meminta polisi untuk menindak dan menghentikan fihak yang mereka anggap membesar-besarkan issue Urutsewu serta memprovokasi warga agar melawan pemerintah. 
Tekanan terhadap koalisi TAPUK tak remeh. Namun keyakinan bahwa kepentingan rakyat Urutsewu, khususnya petani pesisir harus dibela; itu lebih dari sekedar panggilan jiwa. Ada ancaman latent lain yang jika dibiarkan akan memporak-porandakan kelestarian bumi pesisir ini. Jika orang mau memahami persoalan ini secara utuh, tak ada alasan untuk memusuhi perjuangan petani yang tengah mati-matian mempertahankan hak-haknya. 
Opini Sesat Yang Mengabaikan Hak Petani Pesisir
Menanggapi opini “sesepuh” Urutsewu ini, tim advokasi dengan tanpa bermaksud merendahkan elemen massa dan aspirasi orang lain, menganggap justru dasar laporan mereka itu yang mengada-ada. Pada dasarnya issue Urutsewu memang telah menjadi issue nasional yang besar. Bahwa ada sementara fihak, termasuk “sesepuh” Urutsewu ini, yang menganggap bukan sebagai issuebesar; hal ini tak berpengaruh terhadap visi tim advokasi yang bekerja dengan metode litigasi dan non-litigasi dalam melaksanakan misinya. Memang, sebagai sebuah aliansi lintas lembaga, TAPUK tidak sedang berurusan dengan orang-orang yang tidak menjadi korban dalam konflik petani versus TNIdi kawasan Urutsewu.
Mereka yang mengaku sebagai “sesepuh” Urutsewu ini pun bukanlah orang yang menjadi korban brutalitas tentara. Juga bukan dari kalangan petani para pemilik tanah di zona pesisir yang tengah terancam hak sejarah dan hak pemilikan tanahnya. Jadi wajar saja. Sedangkan petani Urutsewu yang berurusan dan berhubungan dengan  TAPUK adalah petani dan warga yang memang menjadi korban. Baik korban kekerasan tentara brutal sebagaimana terjadi dalam insiden Setrojenar (16/4), maupun korban upaya perampasan sistematis atas tanah-tanah sepanjang pesisir Urutsewu. Fakta ini cukup jelas untuk mengatakan bahwa issue Urutsewu memang sebuah persoalan besar yang mustahil dapat dimenangkan oleh petani pemilik tanah yang tercerai berai, tanpa pendampingan fihak yang peduli.
Mereka yang mengaku menjadi warga Urutsewu, tetapi mengabaikan adanya persoalan serius di dalamnya, khususnya di kawasan pesisir selatan; berarti telah mengabaikan persoalan serius. Kalau pun sekarang muncul banyak elemen juga tak masalah. Tetapi apakah kemunculan banyak organisasi itu akan bermanfaat terhadap perjuangan para petani yang tengah dan akan terus membela serta mempertahankan hak-haknya; itu yang akan menjadi parameter eksistensinya. Petani tidak lagi bodoh untuk menilai semuanya. Hanya paska insiden serangan brutal tentara di Setrojenar, banyak yang masih trauma. Tetapi keberanian akan muncul dalam ikatan filosofis “sedumuk bathuk senyari bumi”.
(to be continued)

Rabu, 13 Juli 2011

Press-Release Bersama

Update Kekerasan Kebumen: Penolakan Negara

Kekerasan di Kebumen telah memasuki bulan ke empat pasca-kejadian per April 2011. Tim Advokasi Petani Urutsewu Kebumen (TAPUK), menyesalkan tidak adanya kejelasan atas penyelesaian kasus tersebut. Tindakan hukum justru hanya dikenakan terhadap enam orang warga, yang disangka melakukan pengrusakan terhadap instalasi militer TNI AD, dan penganiayaan terhadap warga lain. Sementara, anggota TNI AD yang melakukan tindakan kekerasan terhadap warga, serta pengrusakan terhadap sejumlah aset milik warga (sepeda motor), belum dilakukan tindakan hukum apapun.

Kami mencatat beberapa rangkaian laporan yang telah disampaikan warga setempat kepada pihak kepolisian (Polres Kebumen) dan Sub Denpom IV/2-2 Purworejo, atas peristiwa kekerasan tanggal 16 April 2011. Terhadap laporan tersebut pihak Polres Kebumen telah mengalihkan/melanjutkan laporan warga tersebut ke Sub Denpom IV/2-2 Purworejo. Namun,  Komandan Sub Denpom IV/2-2 Purworejo Kapten Cpm Hadi Wahyudi mengatakan, tidak memiliki kewenangan untuk menjelaskan proses hukum terhadap sejumlah anggota TNI yang diduga melakukan penembakan, penganiayaan dan perusakan sepeda motor milik warga, dan mengalihkannya ke Danpomdam IV/Diponegoro untuk kejelasan proses hukum tersebut.

Kami juga telah melayangkan surat (sebanyak tiga kali) ke Sub Denpom dan juga Denpom, untuk mengetahui informasi perkembangan kasus dan proses hukum terhadap anggota TNI, terkait peristiwa tanggal 16 April 2011, sekali lagi ketiga surat tersebut, sampai dengan detik ini belum mendapatkan respon apapun. Ketiadaan respon dari pihak TNI maupun dari aparat hukum dan institusi negara yang lain, terhadap serangkaian laporan yang disampaikan warga menunjukkan adanya ‘pengabaian’ dari negara untuk penyelesaian kasus ini.

Sampai dengan saat ini, enam orang warga sedang menjalani proses hukum di Pengadilan Negeri Kebumen, dan sudah memasuki tahap eksepsi dari pihak warga, atas dakwaan yang dikemukakan Jaksa. Berikut daftar warga yang tengah menjalani proses hukum di Pengadilan Negeri Kebumen:

No.
Nama Warga
Dakwaan
Tindak Pidana
1
Solekhan als. Lekhan bin Sadimin; Lahir di Kebumen, 1979
Di muka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap barang, sebagaimana dimaksud dalam pasal 170 KUHP, subsidair Pasal 212 KUHP.

Pengrusakan terhadap barang
2
Sobirin als. Birin bin Wasijo, laki-laki lahir di Kebumen, 29 Maret 1981.
Di muka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap barang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 KUHP.

Pengrusakan terhadap barang
3
Mulyono bin Mihad (alm) lahir di kebumen, 13 Oktober 1968.
Di muka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap barang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 KUHP.

Pengrusakan terhadap barang
4
Adi Wiluyo bin Banjir, lahir di Kebumen, 1 November 1988
Di muka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap barang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 KUHP.

Pengrusakan terhadap barang
5
Asmarun als. Lubar bin Jaswadi, lahir di Kebumen, 14 Agustus 1971.
Di muka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, sebagaimana Pasal 170 KUHP

Penganiayaan
6
Sutriono als. Godreg bin Lamija, lahir 14 Februari 1986.
Di muka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, sebagaimana Pasal 170 KUHP

Penganiayaan

Ketiadaan proses hukum terhadap anggota TNI AD yang melakukan tindakan kekerasan terhadap warga, yang mengakibatkan 14 orang warga menderita luka-luka, 6 diantaranya menderita luka tembak, memperlihatkan adanya diskriminasi dalam proses hukum. Ada pengingkaran terhadap amanat Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945, yang mengamanatkan adanya persamaan di muka hukum, serta hak atas kepastian dan keadilan hukum bagi setiap warganegara. Tertutupnya pihak TNI dan tidak adanya proses hukum yang tegas, terhadap para anggota TNI yang melakukan tindak kekerasam, menunjukan belum adanya transparansi dan akuntabilitas di pihak TNI, atas keluhan yang diajukan oleh warganegara. Selain itu, hal ini juga menunjukan masih terpeliharanya impunitas TNI dari tindakan hukum apapun.

Dari pihak Komnas HAM, sebenarnya sudah mengeluarkan sejumlah rekomendasi terkait dengan kasus ini, yang ditujukan kepada pihak TNI AD, Bupati Kebumen, dan Polres Kebumen. Komnas HAM mengatakan ada indikasi pelanggaran hak asasi manusia, terhadap sejumlah hak, seperti hak atas rasa aman, hak atas kepastian hukum, dan hak atas keadilan, di dalam kasus Kebumen. Menyikapi situasi tersebut, kami menuntut:

1.      Presiden sebagai panglima tertinggi, harus merombak sistem dan mekanisme internal, terkait dengan penghukuman bagi anggota TNI, sehingga bisa menjadi pembuka bagi terbongkarnya impunitas TNI.
2.      Adanya proses hukum yang adil dan imparsial, terhadap warga yang dituduh melakukan tindak pidana, yang saat ini tengah menjalani proses persidangan di PN Kebumen. Mereka harus didudukan tidak hanya sebagai pelaku tindak pidana, namun juga sebagai korban, atas tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh pihak TNI AD.
3.      Denpom TNI AD, harus segera melakukan proses hukum terhadap para anggota TNI yang terlibat dalam tindak kekerasan dan pengrusakan. Dengan proses yang dilakukan secara terbuka dan menjunjung tinggi akuntabilitas hukum.
4.      Komnas HAM, menginisiasi untuk melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan rekomendasi yang dikeluarkannya, sehingga ada jaminan tidak terjadi kembali pelanggaran hak asasi yang dialami warga.

Jakarta, 12 Juli 2011

Tim Advokasi Petani Urutsewu Kebumen (TAPUK)

LBH PAKHIS Kebumen, LBH YAPHI Solo, LBH SEMARANG,
LBH YOGYAKARTA, ELSAM Jakarta, KontraS Jakarta, IHCS Jakarta, INDIPT Kebumen, PMII Kebumen, FPPKS Kebumen

PERNYATAAN SIKAP

Perkembangan situasi obyektif ihwal perjuangan petani di seluruh kawasan Urutsewu, khususnya yang terkonsentrasikan di desa Setrojenar, semenjak tragedi berdarah penyerbuan, penembakan, penganiayaan, pengrusakan dan perampasan hak serta barang pribadi yang dilakukan satuan tentara terhadap petani dan warga sipil. Hingga sekarang telah memasuki fase persidangan atas kasus yang timbul sebagai akibat langsung dari perjuangan petani di kawasan ini.
Maka dengan ini, Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan menyatakan sikap sebagai berikut:

(rumusan tengah dalam proses menunggu hasil sidang PN Kebumen)  

Kamis, 30 Juni 2011

74 Days

Kamis, 23 Juni 2011

KEADILAN UNTUK SEMUA

Keadilan Untuk Semua. Tema Refleksi 2 Bulan Tragedi Berdarah Setrojenar. Dengan 13 korban luka tembak dan luka berat, bukan pelaku pengrusakan. Sedangkan 4 warga Setrojenar jadi tersangka pengrusakan fasilitas TNI-AD. Dan 2 warga lainnya tersangka penganiayaan kurir. Tetapi dalam serangan brutal bersenjata yang dilakukan TNI; tak ada satu pun oknum tentara yang ditetapkan jadi tersangka. Lantas siapa yang bertanggungjawab atas 12 motor milik warga yang dirusak TNI juga?

Selasa, 14 Juni 2011

Menyoal "Laku Culika"

Catatan dari UrutSewu - 1

Resum testimonial ini lebih merupakan upaya membunyikan yang diam, memanusiakan orang dengan cara menghargai martabatnya dan mengimani Sang Pemiliknya. Kesaksian ini, lagi-lagi, berkaitan dengan tanah pertanian UrutSewu yang rupanya diskenario bakal jatuh di bawah kuasa tentara. Tanah milik warga yang mendapat perlakuan orang luaran secara tak semestinya. Laku itu pantas disebut “laku culika”, yang dalam idiom lokal merupakan perilaku maling. Mungkin ini akan menyinggung perasaan pelaku tindakan itu. Tetapi jelas-jelas telah lebih menusuk hati pemilik tanah kawasan pesisir, yang tanpa meminta ijin, melakukan pengeboran untuk mengambil dan membawa pergi sejumlah sampel tanah.

Begitulah. Insiden hari Rabu, 8 Juni 2011, sekelompok orang yang tak memperkenalkan diri datang pada sekitar jam 10.00 wib. Mereka masuk dukuh Selongan dari sisi timur desa Kaibon Petangkuran (Ambal). Pada sebidang tanah di blok Dongkelan rombongan melakukan pengeboran dengan alat yang dibawanya. Pemilik tanah, Nasrodin, 67 tahun; berada tak jauh dari titik pengeboran dan tengah bekerja di ladangnya. Tetapi rombongan ngebor yang terdiri dari 5 orang ini tak menyapa, apalagi pamit pada pemilik tanah, seorang petani desa Petangkuran ini.

Pengeboran ini, ternyata bertujuan mengambil sampel tanah sekitar 5-6 pengangkatan, sampel ini dimasukan ke dalam bagor untuk kemudian dibawa pergi, tanpa pamit seperti tadi. Kedalaman pengeboran sekitar 2 meter, menyisakan lubang vertikal berdiameter 10 cm. Menariknya, sebelum gerombolan ngebor ini tiba, beberapa oknum tentara membawa plang bercat merah dengan tulisan warna kuning berbunyi “Ada Latihan TNI”. Memang ada latihan TNI, tetapi effektif berlangsung pada Kamis (9/6) hari berikutnya.

Selang waktu tak lebih dari satu jam, sebagian dari rombongan ini melakukan pengeboran pada titik lain sekitar 200 meter sebelah selatan titik yang pertama. Di zona yang disebut blok Jenggereng mereka juga melakukan pengeboran yang sama, dengan tujuan yang tak beda pula. Kali ini berada di atas tanah milik Sardjuni, petani lain warga desa Kaibon Petangkuran juga.

Latihan TNI, Pengeboran; Berkaitan ?

Begitu banyak hal terjadi serba tidak transparan di Kebumen Selatan, di wilayah yang lazim disebut pesisir UrutSewu. Rencana megaproyek Jalan Lintas Selatan-Selatan. Lalu mencuat konflik tanah, yang dipicu oleh kebiasaan TNI melakukan latihan perang dan ujicoba senjata alutista, di kawasan pertanian yang pada awalnya cuma dipinjam-pakaikan. Tetapi dalam perkembangannya ada skenario untuk dikuasai tentara.

Konflik yang telah menimbulkan bentrokan (baca: serangan brutal) tentara terhadap warga sipil Setrojenar (16/4) dengan korban 13 orang luka tembak dan luka berat, belasan orang lain luka ringan dan teraniaya, serta 12 motor warga dirusak tentara. Urusan konflik belum lagi selesai, muncul rencana tambang pasirbesi. Eksploitasi yang bakal merusak ekologi pesisir ini belum lagi jalan, terjadi insiden bentrokan. Urusan bentrokan belum diusut dengan tuntas dan berkeadilan, muncul pelaksanaan Sismiop yang sarat dengan aura korupsi dan pungli. Sismiop yang mestinya merupakan penertiban sistem administrasi obyek pajak (tanah), malah bicara batas tanah segala. Ada tumpang-tindih kepentingan apa di balik ini semua?

Jika dibuat skema empiris sederhana maka ditemukan benang merah antara issue kawasan hankam atau “tanah TNI” dengan rencana tambang pasirbesi. Ada gejala yang bisa dibaca karena memang kasat mata. Kalau pun mereka mengingkari, wong ada fakta yang pada akhirnya bakal bicara..

Kamis, 09 Juni 2011

Belasungkawa

" innaliLLahi wa innaIlaihi roji'un "
Telah wafat ibu dari kawan Seniman (Ketua FPPKS) pada hari Rabu, 8 Juni 2011.
Almarhumah akan dikebumikan hari ini, Kamis, 9 Juni 2011.
---
Semoga almarhumah diterima di sisi Allah SWT, diampuni segala dosa kesalahannya dan segenap Keluarga yang ditinggalkan mendapat kesabaran ketabahan; bertawakal melanjutkan perjuangan hidup. Amin.

Jumat, 27 Mei 2011

Waspada Bahaya Nyata: Militerism !

Sejak Senin (23/4) di desa Setrojenar dipasang spanduk bertulis "Waspada. Bahaya Laten Komunisme PKI dan Idiologi Sesat NII". Sehari kemudian disusul dengan pemasangan spanduk yang sama pada titik gerbang jalan masuk ke desa Setrojenar, yakni di sebelah Kantor Camat Buluspesantren, sisi selatan Jl. Daendels.
Menilik identitas pemasangnya, tertera FK4UK, diketahui umum sebagai organisasi pemuda yang didukung oknum TNI, sebagaimana dilansir dari acara deklarasinya belum lama ini di Hotel Candisari.

Meski dapat meresahkan khalayak, warga desa Setrojenar mengaku tak terpengaruh dengan keberadaan spanduk ini. Warga paham, ini adalah cara-cara Orba di masa lalu; yang suka menyalahkan dan mengkambinghitamkan rakyat yang bersikap kritis. Jika pun ini benar FK4UK pembuatnya, warga juga paham, apa isi organisasi boneka ini. Visi dan misinya tak lain "mendukung NKRI", tetapi justru dengan cara mengabaikan hak-hak petani sebagai "sokoguru" Negara. Ini menunjukkan mereka, termasuk ketua "organisasi boneka" ini tak lebih dari orang yang tak sadar sejarah.

"Jadi, tak perlu disikapi secara reaksioner terhadap pemasangan spanduk itu", kata seorang pemuda. Sembari menambahkan bahwa issue komunisme itu sebenarnya sudah usang dan merupakan stigma yang basi.

Tetapi meskipun begitu persoalan ini tak boleh dipandang sebelah mata, karena secara vulgar ada upaya sistematis untuk mengaburkan atau membiaskan persoalan penting di kawasan UrutSewu dan sekitarnya. Dan warga serta petani sangat mengerti, siapa yang membikin skenario dibalik stigmatisasi ini.

Mewaspadai Bahaya Nyata; Militerism

27/5/2011. Setelah dipojokkan dengan berbagai aksi dan propaganda militeristik, mulai dari serangan brutal berikut manipulasi insiden “bentrokan” Setrojenar (16/04), serta kemunculan spanduk orbaisme yang mengkambing-hitamkan masyarakat korban. Kini secara verbal ditemukan fakta baru yang mengarah pada tindakan pengingkaran hak pemilikan petani atas tanah-tanah pemajekan di kawasan pesisir.
Upaya yang cenderung sistematis ini dilakukan dengan dukungan pemerintah daerah melalui instansi yang terangterangan mengabaikan aspek sejarah pemilikan tanah. Dalih tata ruang dilansir untuk semakin memojokkan masyarakat petani di kawasan UrutSewu ini.

Maka setelah pertanian menjadi problem sektoral yang paling minim keberpihakan serta dukungan pemerintah, kini para petani seperti anak ayam yang diceraikan, yang tak mendapat perlindungan Negara. Nasib petani bakal ditentukan oleh sejarah marginalisasi sektor ini. Tetapi inilah basis faktual yang akan menguji eksistensi perlawanan sejarahnya.

Dan essensi perjuangan UrutSewu, pada prinsipnya adalah bagaimana menetapkan kawasan ini sebagai kawasan pertanian dan agrowisata. Bukan kawasan TNI dengan dalih kawasan hankam maupun juga bukan sebagai kawasan tambang besi; sebagaimana yang direncanakan dimlai dari pesisir Mirit.

Dan bahaya nyata itu adalah militerisme yang merupakan ancaman terhadap kehidupan supremasi sipil serta ancaman terhadap kelestarian bumi pesisir karena kepentingan investor yang didukung klan tentara.

Jumat, 20 Mei 2011

Berita KBR68H tentang Urutsewu

Wednesday, 11 May 2011 22:15  |  Quinawati Pasaribu  |  Hits: 165 

KBR68H, Jakarta – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, KomnasHAM merekomendasikan TNI tidak menggunakan lahan petani di desa Setro Jenar, Kebumen, Jawa Tengah sebagai tempat latihan militer. Menurut Wakil Ketua Komnas HAM, Nur Kholis, penghentian latihan militer itu harus dilakukan sampai proses penyelidikan konflik pertanahan di Alas Tlogo tuntas dikerjakan. Pasalnya kata dia, Komnas HAM bakal menggunakan kasus sengketa lahan di Alas Tlogo pada 2007 lalu sebagai pilot projek menyelesaikan seluruh masalah sengketa lahan antara petani dengan TNI.

“Terkait dengan persoalan pertanahan yang men
jadi sengketa, komnas ham merekomendasikan moratorium sampai penyelesaian lebih lanjut dengan mempertemukan para pihak. Karena kasus pertanahan terkait konflik kita sepakat bahwa kita ambil pilot projek yaitu alas tlogo.”
Selain itu Komnas Ham juga bakal mempertemukan antara Menteri Pertahanan dan Keamanan Djoko Suyanto serta Kepala Badan Pertanahan Nasional Joyo Winoto untuk duduk bersama menuntaskan persoalan sengketa lahan tersebut. Sementara itu model penyelesaiannya akan dicari oleh Komnas Ham. Sodara, konflik antara warga dan TNI terjadi di desa Setro Jenar, Kebumen, Jawa Tengah pertengahan April lalu. Bentrok dipicu karena sengketa lahan. Akibatnya sejumlah petani terluka tembak dan pukulan.
----------------

Wednesday, 18 May 2011  10:31  Novri Lifinus  Hits: 109

KBR68H, Jakarta - Warga Desa Setro Jenar, Kebumen, Jawa Tengah meminta Komnas HAM segera mengirimkan rekomendasi pelarangan latihan militer di tempat mereka. Sampai saat ini warga belum menerima rekomendasi tersebut. Anggota Tim Advokasi Warga, Teguh Purnomo mengatakan TNI sempat menggelar latihan kembali karena warga belum menerima rekomendasi itu. Sebuah baliho besar akan dibuat warga untuk memperingatkan TNI agar tak menggelar latihan militer kembali di tanah warga.

"Harapannya soal rekomendasi. Beberapa kali kami tanyakan ke teman-teman jaringan di Jakarta, kalau rekomendasi resmi berupa surat katanya belum keluar. Tapi kalau ternyata sudah ada tentunya kami akan minta sebagai bahan menenangkan masyarakat dan mengingatkan beberapa pihak termasuk birokrasi yang ada di Kebumen bagaimana mengikuti rekomendasi Komnas HAM."

Anggota Tim Advokasi Warga, Teguh Purnomo, menambahkan sampai saat ini warga masih resah. Mereka juga menyayangkan pernyataan Gubernur Jawa Tengah yang seolah-olah menyudutkan warga. Gubernur mengatakan, rakyat tidak boleh melarang TNI AD melakukan latihan agar bisa menjaga keutuhan wilayah NKRI. TNI AD belum akan menghentikan latihan militer di desa Setro Jenar, Kebumen, Jawa Tengah sesuai rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komnas Ham. Pasalnya, menurut Juru Bicara TNI Angkatan Darat, Wiryantoro, sampai saat ini pihaknya belum menerima salinan rekomendasi dari Komnas HAM.
-------
Tuesday, 17 May 2011  |  19:45  |  Doddy Rosadi  Hits: 88

KBR68H, Jakarta – Polisi diminta tidak memaksakan diri untuk membawa kasus bentrok antara warga desa Setrojenar Kebumen, Jawa Tengah dengan personil TNI ke pengadilan. Ketua Tim Litigasi Petani Kebumen Teguh Purnomo mengatakan, Kejaksaan Negeri Kebumen sudah mengembalikan berkas kasus itu kepada kepolisian karena ada ketidaksinkronan antara keterangan tersangka dengan saksi. Dia mengklaim, bukti-bukti yang dimiliki polisi untuk membawa kasus ini ke pengadilan tidak kuat.

“Terkait dengan berkas perkara tidak lengkap, kami sebagai kuasa hukum juga menilai kalau misalnya memang mereka tidak memenuhi unsur karena mungkin ada kegamangan soal kepemilikan tanah tempat TNI membangun Gapura, saya kira polisi tidak harus memaksakan perkara ini sampai ke pengadilan.”

Kepolisian Kebumen sudah menahan enam tersangka dalam kasus bentrok antara warga dengan personil TNI. Empat tersangka diduga terlibat perusakan gapura masuk menuju tempat latihan TNI di Pantai Setrojenar serta perusakan gudang senjata Kantor Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbang) TNI AD pada 16 Apri lalu. Sedangkan dua tersangka lainnya, diduga terlibat aksi pemukulan terhadap seorang warga Desa Ambalresmi, Kecamatan Ambal yang tengah mengirim logistik ke Kantor Dislitbang. Bentrok antara warga Kebumen dengan TNI terjadi karena warga menolak kampung mereka dijadikan lahan tempat latihan militer.

------------------

Tuesday, 17 May 2011  19:41  |  Quinawaty Pasaribu  |  Hits: 126

KBR68H, Jakarta – Tentara Nasional Indonesia TNI belum menghentikan latihan militer di Desa Setro Jenar, Kebumen, Jawa Tengah. Padahal sebelumnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komnas Ham merekomendasikan agar TNI menghentikan latihan militer sampai ada penyelesaian sengketa lahan antara Kementerian Keuangan dan Badan Pertahanan Nasional, BPN. Juru bicara TNI Angkatan Darat, Wiryantoro menyatakan sampai saat ini TNI AD mengaku belum menerima salinan rekomendasi dari Komnas HAM. Jika sudah diterima, TNI AD akan menanggapi masukan dari Komnas HAM

“Ya saya belum bisa ya, saya kan harus baca rekomendasi dan keputusan kepimpinan seperti apa. Saya kan hanay staf, jadi tidak ditanyankan ke saya sebelum surat dibaca ke pimpinan. Tapi setahu saya sampai kemarin belum dapat informasi soal rekomendasi itu.”

Sebelumnya Komnas HAM berencana mempertemukan Kementerian Keuangan dan Badan Pertahanan Nasional, BPN untuk menuntaskan sengketa lahan di Desa Setro Jenar, Kebumen, Jawa Tengah. Komnas juga bakal membuka kembali kasus Alas Tlogo 2007 lalu sebagai pintu masuk menyelesaikan kekerasan yang terjadi antara TNI dan petani.

-------------------

Sunday, 15 May 2011 22:54  |  Muhammad Irham  |  Hits: 206

KBR68H, Jakarta - Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan KONTRAS menemukan fakta adanya kehadiran anggota Intel dari kepolisian, sebelum tragedi bentrok warga dengan TNI AD di Kebumen, Jawa Tengah.
 Koordinator KONTRAS, Haris Azhar mengatakan, kehadiran Intel itu tak bisa membendung bentrokan yang mengakibatkan lebih dari 10 warga luka karena ditembak dan dipukuli pasukan TNI AD. Kepolisian setempat dianggap ikut andil dalam bentrokan tersebut.

"Ada penciptaan kondisi yang tidak stabil, bukan hanya pada masyarakat, tapi juga institusi. Misalnya polisi. Saya melihat ada peran polisi dalam bentrok kemarin itu. Polisi membiarkan. Kedua, polisi ikut mengkriminalkan orang-orang yang dituduh provokasi dan kekerasan. Dalam temuan kita itu, ada data yang menunjukkan adanya intel pada saat sebelum dan bentrok terjadi.”

Koordinator KONTRAS, Haris Azhar menambahkan, warga yang dijadikan tersangka oleh Polisi dalam peristiwa Kebumen bertambah dari lima menjadi tujuh orang. Mereka dikenakan pasal pengrusakan. Haris menyayangkan kepolisian belum menindaklanjuti laporan masyarakat terhadap pengrusakan 12 sepeda motor warga oleh anggota TNI AD. Selain itu, belum ada pemeriksaan anggota TNI AD dalam bentrok tersebut oleh Polisi Militer.
Pertengahan bulan lalu, petani Desa Sentrojenar, Kecamatan Bulus Pesantren, Kebumen, Jawa Tengah, bentrok dengan sejumlah personel TNI. Bentorkan berawal dari penolakan petani terhadap latihan militer yang dilakukan TNI di daerah tersebut. Petani memblokir jalan menuju lokasi latihan. Namun sejumlah anggota TNI justru membalas tindakan petani dengan tembakan dan pukulan.