Minggu, 20 Maret 2011

Seruan Aksi 23 Maret


Untuk kedua kalinya, massarakyat petani dari kawasan pesisir UrutSewu Kebumen selatan harus menempuh aksi demonstrasi massa ke Bupati. Kenapa? Karena harapan terselesaikannya “kemelut” tanah di pesisir sepanjang 22,5 Km di 3 wilayah kecamatan (Mirit, Ambal, Buluspesantren) tak kunjung rampung. Sementara kemelut tanah belum lagi diselesaikan, muncul megaproyek baru penambangan pasir besi di kawasan ini, yang bakal dimulai dari pesisir Mirit. Benarkah ini semua kepentingan rakyat ?
Kemelut tanah di pesisir selatan Kebumen muncul sejak 1980-an. Paska dibangunnya Dislitbang-AD di sisi selatan desa Setrojenar (Buluspesantren). Dengan dalih memanfaatkan “tanah Negara” TNI-AD melakukan latihan perang dan uji coba senjata. Kalangan industri strategis (yang sudah diswastakan) seperti PT. Pindad, paling berkepentingan Keberadaan “tanah Negara” di pesisir selatan, sebagai dihasilkan dari sejarah “Klangsiran” tanah (1932) menyisakan bukti adanya “Pal-Budheg”  sejauh 220-an meter dari garis air. Jadi, kalau harus bicara soal “tanah Negara” maka di situlah batasnya. Tetapi catatan krusial atas ini, bahwa “tanah negara” bukan lah “tanah milik TNI-AD”. Juga pernyataan BPN: “Tak ada sejengkal tanah pun milik TNI di UrutSewu”.    
Latihan dan uji coba senjata bertahun-tahun berjalan, beberapa kasus terjadi merugikan petani; selama itu pula masih ditoleransi. Persenjataan berkembang, demikian pula “perdagangan” senjata.  Maka kebutuhan areal tembak untuk ujicoba produk juga bertambah. Dislitbang-AD mendekati para Lurah, pinjam tanah. Mulanya beralasan untuk “zona aman” selebar 250m; maka jadilah lebar 500m dari garis air. Dalam perkembangannya, zona selebar ini jadi dasar “klaim” baru penguasaan (klaim milik TNI-AD) tahap pertama. Posisi politis petani berada antara toleransi dan tak berani. Sekalipun tak rela, cuma bisa membiarkan saja. Lalu Dislitbang-AD usul lagi, ke Lurah lagi, 250 m lagi. Jadilah 750 m; sepanjang pesisir UrutSewu, dari muara LukUlo hingga muara Wawar. Belum pernah terjadi musyawarah dengan petani pemilik yang menghasilkan “proses mutasi hak” atau pun persetujuan dasar “klaim” pemilikan TNI atas tanah di sana. 
Sejak itu, TNI-AD pun mulai patoki tanah rakyat pada titik 500 m, 750 m; dan terakhir bahkan hingga 1.000 m. Ketika mulai muncul keberanian petani, dipertanyakan.  Petani sebagai pemilik sah tanah pesisir, gusar dan gerah. Tapi untuk memaksakan legitimasi “palsu” penguasaan TNI-AD atas tanah sejauh 1.000 m ini, dimasukanlah wacana batas semu tanah TNI-AD ke dalam Draft Raperda RTRW Kab. Kebumen; yang diskenario sebagai kawasan strategis Hankam! Perampasan Sistematis!!! Karena dari perencanaan dan penetapan; petani tak diberi ruang partisipatif. Terhadap “draft” Perda RTRW; Petani Menolaknya.. Bahkan Legislatif demikian juga. Ketika “kemelut” tata ruang wilayah ini belum lagi selesai; muncul lah rencana eksplorasi (baca: eksploitasi) pasir besi. KPPT meng”ijin”i dan Bupati meng”amin”i. Masyarakat umum tak mengerti. Tetapi riset Divisi Litbang FPPKS menemukan bukti bahwa sejak 2008 telah ada “persetujuan” Panglima Kodam IV/Diponegoro (No:B/1461/IX/2008; tertanggal 25 September 2008) terkait peruntukan tanah “kawasan hankam” (padahal, sejatinya bukan “tanah milik” TNI-AD) di Kec.  Mirit ini untuk usaha pertambangan pasir besi.
 Jadi, apa makna semua ini?.  Baik issue kawasan Hankam maupun issue pasir besi; keduanya setali tiga uang; karena memang begitulah skenario bisnis “klan tentara” tengah dimainkan. Tak peduli hukum adat dilecehkan. Tak peduli hak-hak pemilikan tani terampas secara sistematis. Tak peduli bumi dan lingkungan bakal rusak karenanya! Lalu; siapa harus peduli? Rakyat lah yang harus peduli.
Satu Kekuatan; Satu tuntutan: “Tolak Kawasan Hankam, Tolak Eksploitasi Pasir Besi !!!”
_______
Ada 2 skenario besar yang jika dibiarkan jalan, maka dampak dan implikasinya bakal mengancam hapusnya 2 aspek kehidupan di kawasan UrutSewu. Pertama:  Hilangnya hak dan sejarah kepemilikan petani atas tanah-tanah warisnya. Sebuah upaya sistematis perampasan tanah-tanah rakyat di kawasan UrutSewu, memang sedang terjadi di sepanjang pesisir selatan Kebumen. Kedua: Ancaman kerusakan lingkungan dan ekosistem pesisir. Kedua ancaman itu merupakan resiko yang harus ditanggung sebagai akibat konspirasi ekonomi politik yang jahat. Untuk yang pertama, hak dan sejarah pemilikan petani UrutSewu bakal hapus oleh klaim “tanah milik TNI-AD” dengan dalih “tanah Negara” atau pun “kawasan Hankam” yang ternyata penuh intrik kebohongan dan ahistoris. Untuk yang kedua, ancaman kerusakan lingkungan dan kerentanan kawasan jika terjadi eksploitasi pasir besi di wilayah ini. Semua bermula dari sebab yang sama. Yakni “klaim” pemilikan tanah oleh TNI-AD atas tanah-tanah yang sejatinya milik petani.
Lihat saja, bagaimana TNI-AD yang mengaku “memiliki” tanah sepanjang pesisir UrutSewu ini, yang semula dimanfaatkannya untuk latihan ujicoba senjata berat (alutista), lalu dengan berbagai cara dicarikan legitimasi melalui aturan baru, seperti Perda RTRW; tetapi ujung-ujungnya diassetkan sebagai areal tambang pasir besi; sebagaimana yang akan terjadi kini. Secara tertutup, Panglima Kodam IV/Diponegoro, pada 25 September 2008, telah memberikan “persetujuan” (Surat Pangdam IV/Diponegoro, No.: B/461/IX/2008) tentang pemanfaatan tanah TNI-AD di pesisir Mirit untuk usaha pertambangan pasir besi.  Jadi ternyata semua telah diskenario sejak lama.
Ini semua jelas-jelas sebuah pembohongan fakta sejarah dan pengingkaran fakta pemilikan tanah. Terutama “klaim” pemilikan sejauh 500 meter dari air laut sepanjang 22,5 Km pesisir UrutSewu. Faktanya, di dalam zona ini banyak terdapat tanah-tanah pemajekan dan secara historis merupakan milik rakyat. Maka itulah sebabnya; kita semua harus mencegah dan mempertahankan kesemuanya.
Landasan Konstitusional UUD’45 (ps.33 ayat3): “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Konstitusi ini tak mengamanatkan kepemilikan tanpa proses yang benar. Artinya, fakta bahwa tanah-tanah di bumi pesisir, terlebih telah menjadi tanah pemajekan adalah milik rakyat tani. Dalam filosofi Jawa; Sedumuk Bathuk Senyari Bumi juga wajib kita maknai. Apalagi di dalam spirit ini terkandung kewajiban melindungi kelestarian alam dan ekosistem bumi pesisir. Fakta lainnya, karena memang kawasan UrutSewu ini terbukti lebih potensial untuk dijadikan kawasan budidaya pertanian dan agrowisata.
Itu sebabnya perjuangan ini harus dengan dukungan aksi massa. Kenapa? Karena selama ini, cara lainnya tak menghasilkan apa-apa! Kemenangan rakyat tani harus diraih dengan kekuatan sendiri. Kedaulatan Tani, kedaulatan Rakyat ini; harus direbut dari tangan penguasa yang telah mengabaikan hak rakyatnya. Kedaulatan Rakyat harus direbut dari “angkatan bersenjata” yang bukannya melindungi kedaulatan wilayah kita, tetapi malah menjual “teras bumi” kepada klas pemodal, yang ironisnya, berasal dari “klan” bersenjata juga. Ini lah basis pemahaman “kapitalis-militeristik” Indonesia, peninggalan kolonial, peninggalan rezim masa lalu yang bebal !
Penolakan terhadap kawasan Hankam, seiring dengan penolakan terhadap eksploitasi pasir besi. Karena kedua tuntutan ini berujung pada “musuh” rakyat yang sama. Yakni “klan” tentara dan “klas” pengusaha yang didukung oleh “birokrat” negara. Perjuangan rakyat mesti dilandasi untuk membuyarkan persekongkolan mereka.
Rakyat Bersatu: Tolak Kawasan Hankam di UrutSewu ! Rakyat Bersatu: Tolak Eksploitasi Pasir Besi !
Rakyat Bersatu: Jadikan UrutSewu Kawasan Pertanian dan Pariwisata !

0 komentar:

Posting Komentar