Kamis, 24 Maret 2011

Aksi Petani Dibalas "pendudukan" Tentara - Bag.1


Aksi demonstrasi dua ribuan massa petani UrutSewu (23/3) ke Bupati Kebumen, telah menghasilkan kesanggupan Bupati keesokan harinya untuk meninjau kawasan pesisir selatan Kebumen. Tetapi aksi yang diorganisir oleh FPPKS dan didukung lebih dari 25 lembaga dan organ massa ini juga menuai aksi tandingan reaksioner dari segerombolan tentara sejak pagi buta di hari sesudahnya. Aksi tentara ini cukup provokatif. Bahkan nyaris menimbulkan "bentrok pagi" di jalanan desa dan amuk massa pada siang harinya.
___

Aksi FPPKS yang dilancarkan Rabu (23/3) ke halaman kantor Bupati Kebumen, mengusung tuntutan besar untuk menetapkan kawasan UrutSewu di pesisir selatan Kebumen agar segera ditetapkan secara permanen menjadi kawasan pertanian dan agrowisata. Aksi ini dimulai sejak jam 09.00 pagi, dengan peserta yang berasal dari setidaknya 9 desa mewakili 3 wilayah kecamatan; Mirit, Ambal dan Buluspesantren. Kecamatan Mirit, yang rencananya bakal dijadikan kawasan bisnis TNI jadi pertambangan pasir besi adalah yang paling rendah partisipatifnya diantara 15 desa yang ada. 

Hal ini dapat dimaklumi, mengingat massa rakyat Mirit cenderung dapat dipecah kekuatannya oleh para tokoh elite setempat yang melakukan langkah  "politik lobby" ke lembaga legilatif daerah. Hasil dari langkah kompromis yang juga dibilang sebagai "politik santun" ini cuma menghasilkan janji akan adanya sosialisasi ulangan mengenai rencana eksploitasi pasir besi di kawasan mereka. Banyak petani dari desa pada 2 kecamatan lainnya sangat menyayangkan fragmentasi gerakan dari Mirit. Padahal dampak dari diijinkannya eksploitasi bijih besi juga bakal berpengaruh secara signifikan bagi desa-desa lain yang sejak lama telah memperjuangkan penetapan kawasan UrutSewu; sebagai kawasan pertanian dan agrowisata.

Satu Tuntutan; Dua Capaian !

Aksi massa ribuan rakyat yang menekan Bupati untuk keluar dari kantornya dan menemui massa, dituruti oleh Bupati.
"Ini bukti bahwa saya sebagai Bupati, siap berada di belakang masyarakat", demikian pernyataan Buyar Winarso
Aktualisasi dari pernyataan ini jadi pijakan para demonstran yang mengutus delegasi FPPKS untuk berunding di ruang pleno DPRD yang difasilitasi oleh ketuanya, Budi Hianto, dan didampingi segenap unsur pimpinan dewan serta sejumlah pimpinan komisi. Dan begitu dibuka sesi pengajuan tuntutan, maka mengalirlah penyampaian tuntutan aksi kali ini.

Beberapa dari delegasi FPPKS ini secara tegas menyampaikan satu tuntutan yang pada intinya mendasarkan pada berbagai pertimbangan, bahwa yang terbaik bagi kawasan UrutSewu adalah apabila kawasan ini ditetapkan saja sebagai kawasan pertanian dan agrowisata. Dan penetapan kawasan ini sebagaimana dimaksud dalam tuntutan, yakni sebagai kawasan budidaya pertanian, diminta dipercepat saja, mengingat persoalan krussial ini sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun. 

Dengan begitu, secara otomatis, di dalam tuntutan penetapan demikian tercakup penolakan mayoritas petani UrutSewu terhadap rencana penetapan kawasan hankam yang sekaligus sebagai kawasan bisnis pertambangan pasir besi. Dari aspek materi tuntutan, secara substansial lebih tegas dari sekedar himbauan wakil Mirit yang mengharapkan kesantunan politis yang tak jelas makna aspiratifnya. 

Keraguan Bupati 

Respon awal Bupati terhadap substansi tuntutan petani pesisir UrutSewu, menyiratkan adanya kekhawatiran Pemkab; mengingat ada 2 problem krussial yang telah ditetapkan dan diijinkan sebelumnya. Itu bisa dimaklumi mengingat kepentingan yang mendominasi 2 problem itu adalah kepentingan bisnis tentara. Rupanya kekhawatiran ini juga yang melatari statement-statement Bupati dalam menanggapi surat Komnas HAM belum lama ini. Tetapi dorongan masukan yang ditekankan delegasi Setrojenar, bahwa dalam penetapan rencana Tata Ruang Wilayah agar jangan sekedar meneruskan kebijakan lama, kemudian melanjutkannya; harus dipertimbangkan kembali untuk menetapkan kebijakan daerah yang tepat. 

Tuntutan senada juga disampaikan negosiator dari kecamatan Ambal, dengan mendasarkan pada pemanfaatan dan pemilikan tanah secara adat, serta pertimbangan ekosistem pesisir. Terlebih jika menimbang kawasan pesisir UrutSewu termasuk daerah rawan bencana, sehingga kebijakan terkait pemanfaatan kawasan ini hendaknya mempertimbangkan kerentanan sosial yang ada. Pilihan sebagai kawasan pertanian dan agrowisata, dari segala aspek, merupakan solusi terbaik untuk kawasan ini; disamping tradisi pertaniannya yang mulai maju pesat. 

Demikian juga delegasi dari Brecong yang diwakili elemen pemerintahan desa. Dukungan dan tuntutan menjadikan kawasan pesisir sebagai kawasan budaya agraris modern, merupakan solusi terbaik mengembangkan seluruh potensi desa-desa pesisir. 


Dekonstruksi "tanah negara" lama

Klaim 500 meter "tanah TNI" belum sepenuhnya terbelejeti sebagai teori warisan kolonial yang usang. Tetapi memang itu yang selama ini menjadi landasan "beku" bercokolnya TNI-AD di UrutSewu. Bupati yang nyaris sepenuhnya percaya teori "kibulan" ini, rupanya mulai terbukakan matanya kini. Karena memang jika harus berdebat tentang "tanah negara" juga ada tanda dan sejarahnya. 

Namun timbul pula sejumlah syak, saat massa menuntut Bupati terkait keberadaan "tanah negara" ini. Kepala BPN Kebumen sedang berada di Jakarta, sehingga lembaga yang paling berwenang menangani tanah ini tak bisa menjelaskan ke peserta aksi. Tetapi pernyataan institusi ini, yang diperkuat oleh BPN Jateng serta kesaksian beberapa warga UrutSewu yang pernah klarifikasi sebelumnya; cukup untuk menjelaskan status kepemilikan yang melekat secara adat. 

"Justru, yang tak masuk akal, jika ada tanah hankam koq dialihkan untuk areal pertambangan pasir besi", sergah seorang delegasi. 

0 komentar:

Posting Komentar