Kamis, 27 September 2012

Menangkap Pesan Hantu di Urutsewu



Ada hal yang menggelitik pada acara peringatan Hari Tani Nasional, 24 September 2012 lalu di desa Wiromartan, Mirit. Belasan boneka “hantu sawah” dibuat dan dipasang petani Urutsewu di seputar posko tepian Jl. Daendels dengan beragam bentuknya. Aksi pada hari itu, sepi dari liputan media. Dan hanya sedikit warga yang memotret pemasangan ini. Lalu-lalang pengendara hanya sekilas menoleh kegiatan yang tak biasa ini. Namun beberapa pengemudi mobil memperlambat laju kendaraannya sembari mengacungkan ibu jari ke arah kerumunan petani. Ternyata kegiatan serupa juga dilakukan dua desa lainnya, Tlogodepok (Mirit) dan Kaibonpetangkuran (Ambal).
Saat dikonfirmasi di sela aksi unik ini, beberapa petani menjelaskan bahwa semua telah direncanakan empat hari sebelumnya. Tak lain sebagai respons lanjutan atas pernyataan fihak perusahaan tambang pasirbesi yang akan kembali memulai kegiatan operasionalnya. Reaksi pertama telah diwujudkan oleh para petani dengan mendirikan posko penolakan tambang di empat titik. Berikutnya dengan memanfaatkan momentum Hari Tani, pemasangan “medisawah” atau boneka hantu sawah ini seakan untuk meyakinkan semua orang, bahwa penolakan terhadap masuknya korporasi tambang pasirbesi di wilayah pesisir Urutsewu ini adalah final. Seperti ditulis “Tolak Tambang Besi = Harga Mati”.
Diakui pula bahwa pilihan memasang hantu sawah di tepian jalan beraspal yang melintasi desa-desa pesisir Urutsewu ini, lebih dari perlawanan simbolik semata. Setelah berbagai aksi protes dan penolakan dilakukan selama ini tak membuahkan hasil, maka pemasangan hantu sawah ini seakan membangkitkan momok dari sawah lalu membariskannya di tepian jalan. Agar semua orang dapat melihat dan membaca serta memahami persoalan di balik semuanya.
Kemarahan Inspiratif
Secara tradisional, medi-sawah sering dipakai petani untuk mengusir kawanan unggas burung atau hewan pengganggu tanaman petani lainnya, dengan cara digerakkan tali disertai suara-suara buatan bernada menghalau. Cara menggerakkan boneka hantu ini bisa juga dengan memanfaatkan tiupan angin yang biasanya lebih kencang pada bentangan lahan terbuka. Mengusir pengganggu tanaman, begitulah manakala boneka ini dipasang di bentangan sawah. Lalu ketika banyak medi-sawah ini dipasang petani berjajar di tepi-tepi jalan raya: apa makna di dalamnya ?
Ya, intinya tetap sama; seperti diituturkan petani, menghalau apa dan siapa saja yang bakal dan telah mengganggu petani. Semua orang mengiyakan ini sebagai tujuan bersama. Lalu dilakukan bersama-sama. Menolak penambangan pasirbesi di kawasan pesisir selatan yang popular disebut kawasan Urutsewu ini. Penolakan ini sama dan sebangun dengan petani Urutsewu di desa lainnya yang menolak kawasan pesisir dipakai sebagai ajang latihan perang dan ujicoba senjata berat. Bahkan dengan alasan kepentingan Negara yang didalihkan sebagai kawasan pertahanan keamanan sekalipun.
Betapa pun kerasnya protes dilakukan selama ini, namun ketika pemerintah melegitimasi pemanfaatan kawasan tradisional agraris ini untuk aktivitas non-pertanian; kemarahan sosial menjadi layaknya bara dalam sekam. Kemarahan inspiratif. Bahkan ketika petani berduyun kembali meninjau lokasi pertambangan, tak nampak ada ekspresi kecewa. Namun kegembiraan juga mengendap menjadi bayangan ganjil pada sosok-sosok boneka medi-sawah yang dipasang di tepian jalan raya. Dimungkinkan jumlah momok ini akan bertambah seiring malam yang menggetarkan harapan layup. Harapan ribuan petani yang menyadari bahwa yang dilakukan sekarang adalah pertaruhan masa depan…




0 komentar:

Posting Komentar