Kamis, 21 Juni 2012

Refleksi Aksi USB "UrutSewu Bersatu"

Fakta bahwa perjuangan petani kawasan pesisir Kebumen selatan dalam penolakan pemanfaatan lahan untuk latihan perang dan ujicoba senjata berat serta eksploitasi  tambang pasir besi; dikandaskan pemerintah. Padahal jika dicermati secara kritis, dalam rentang puluhan tahun ke depan dimana bakal dibangun jaringan jalan lintas Jawa selatan, kawasan ini sangat tak memenuhi syarat keamanan jika untuk kawasan latihan dan ujicoba senjata berat. Namun dengan dalih pentingnya pertahanan dan keamanan (hankam), maka kawasan yang sejak jaman kolonial menjadi basis produksi agraris termasuk industri garam rakyat di masa sirat lalu itu pun; bakal tercerabut akar sejarahnya. Ironi terpahit atas semua ini, Pemkab Kebumen melegitimasi bercokolnya TNI-AD atas kawasan ini dengan merancang Perda Rencana Tata Ruang Wilayah. Begonya lagi, DPRD bakal mengesahkan regulasi daerah yang akan diberlakukan selama 20 tahun (2011-2031) ini.

Pergolakan di kawasan Urutsewu yang diwujudkan dalam perlawanan petani untuk menolak okupasi lahan pertanian, termasuk zona-zona pariwisata rakyat; dikandaskan oleh sepotong regulasi daerah yang mengabaikan aspirasi rakyat petaninya. Demonstrasi dan aksi-aksi unjukrasa selama 5 tahun terakhir, yang melelahkan dan nggetih (berdarah-darah) pun, seolah dianggap angin lalu. Beberapa pejabat daerah, saat berbincang masalah ini cuma mengajak masyarakat untuk “melupakan” saja kesalahan masa lalu. Padahal “tragedi Setrojenar” (16/4) sendiri masih menyisakan banyak fakta dilecehkannya keadilan hukum dan keadilan sosial. Belum lagi peristiwa timbulnya korban cacat dan tewasnya anak-anak petani pesisir sebagai dampak digunakannya lahan pertanian untuk latihan perang dan ujicoba senjata. Mereka tewas tanpa mendapatkan santunan.


Sebenarnya rakyat Urutsewu marah atas semua ini. Di tengah kemelut konflik agrarian yang tak pernah diupayakan secara adil penyelesaiannya; muncul lah investor pertambangan pasir besi yang juga bakal mengeksploitasi pesisir dan lahan-lahan pertanian hortikultura. Makam umum, areal pangon, sawah, kebun melon, lahan semangka, ladang jagung dan sayuran lainnya; bakal menyusut. Sementara populasi dan kebutuhan ketersediaan lahan berkembang. Penyusutan lahan bagi pra-industrialisasi pertanian ini menyusut secara signifikan. Terdesak oleh ekspansi modal yang merupakan kekuatan penggusur baru dan yang didukung negara usang untuk melayani kepentingan industri dan korporasi asing.

Wacana hankam (mengusung subtema areal latihan dan ujicoba alutsista TNI-AD, ditambah muatan issue pangkalan TNI-AL, sekaligus pertambangan pasir besi include di dalamnya) dengan issue nasionalisme yang tak pernah konsisten dan faktual; adalah kepentingan konspiratif. Semua dapat dianalogikan dalam idiom lokal sebagai hanya dalih kudhung welulang macan, mengalahkan urgensi kesejahteraan umum petani pesisir yang telah lebih dari satu dekade mulai merintis industrialisasi pertanian hortikultura; yang produktif meskipun minim dukungan negara. Intensitas budidaya lahan pesisir bahkan telah sanggup menciptakan perspekstif baru berupa kebanggaan angkatan muda desa-desa se Urutsewu terhadap aspek pertanian fenomenal pra  modernitas budaya agraris. Pertanian bukan lagi sektor yang kumuh dan terbelakang.

Fakta empiris ini tak pernah dipermanai sebagai perkembangan sejarah budaya agraria yang penting dan strategis. Pressure “kepentingan nasional” telah menafikan visi tentang kemandirian daerah. Dan kemunculan regulasi daerah tentang pengaturan umum pemanfaatan kawasan bakal menjadi instrumen baru untuk melegitimasikan perampasan sistematis atas tanah-tanah pesisir Urutsewu. Tragisnya..

(bersambung ke bag. 2)

0 komentar:

Posting Komentar