Selasa, 03 Mei 2011

PressRelease

Siaran Pers Bersama:
Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan,
Tim Advokasi Petani UrutSewu Kebumen (TAPUK),
YLBHI-LBH Semarang,
Konsorsium Pembaharuan Agraria

Pertemuan di Kanwil BPN Jateng:
Meretas Jalan Penyelesaian Konflik Agraria di UrutSewu Kebumen

Semarang, 18 April 2011. Hari Sabtu, tanggal 16 April 2011 pukul 14.00 di kawasan Urutsewu (yang terdiri dari Kecamatan Mirit, Ambal dan Buluspesantren) telah terjadi tindakan “brutal” yang disertai penembakan dari aparat TNI kepada masyarakat sipil. Jika dirunut sejarahnya maka akar masalah kejadian ini adalah konflik tanah, yaitu ketika pihak TNI mengklaim tanah warga di kawasan Urutsewu sebagai tanah milik TNI untuk digunakan sebagai kawasan latihan perang.

Sejarah Tanah

Tanah di kawasan Urutsewu oleh petani telah digarap secara produktif sejak jaman kolonial sampai sekarang. Pada tahun 1932 dilakukan pemetaan tanah, yang dalam idiom lokal disebut masa “Klangsiran”. Hasil dari pemetaan tanah tersebut adalah:
Pertama, Klasifikasi Tanah. Klasifikasi tanah tersebut menghasilkan pembagian kategori menjadi 5 persil atau kelas tanah yang di dalam data administrasi disebut persil mulai D-1 hingga D-5; dimulai dari jalan raya (kini disebut Jl. Daendels) hingga patok beton “Pal Budheg”.
Kedua, menentukan batas antara tanah negara dengan tanah rakyat, yang dikenal dengan “Pal Budheg”, patok tanah dengan kodevikasi Q222 di desa Setrojenar (Buluspesantren), Q216 di desa Entak (Ambal) dan Q215 di desa Kaibon (Ambal) serta beberapa “pal budheg” di titik lain yang disinyalir hilang atau rusak sebab dipakai sebagai latihan titis dengan penanda bendera dan digunakan untuk sasaran tembak kanon pada saat latihan TNI. Jarak “Pal Budheg” yang menjadi penanda batas tanah negara berada pada titik sejauh 216 meter, 222 meter dan paling jauh 250 meter dari garis air.

Tanah “negara” ini yang kemudian dipakai oleh tentara kolonial sebagai kawasan latihan militer. TNI kemudian juga menggunakan kawasan tersebut sebagai kawasan latihan militer. Namun yang membedakan adalah, TNI mencaplok juga tanah “rakyat”. Klaim TNI atas kawasan Urutsewu “direstui” oleh pemerintah Provinsi Jawa Tengah melalui Peratura Daerah Jawa Tengah No. 6 tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Tengah tahun 2009-2029 yang menetapkan kecamatan Mirit sebagai kawasan pertahanan keamanan. 

Pemerintah Kabupaten Kebumen juga sedang membahas rancangan Peraturan Daerah RTRW Kabupaten Kebumen, dengan pasal kontroversial berupa perubahan kawasan pertanian menjadi kawasan militer. Selain untuk kawasan militer, TNI juga mengokupasi tanah masyarakat untuk bangunan fisik. Di kawasan itu banyak terdapat bangunan infrastruktur Dislitbang AD yang dibangun tanpa persetujuan para petani pemilik tanah.

Pertemuan di BPN Kanwil Jawa Tengah

Pertemuan dipimpin oleh Kepala Wilayah BPN Jawa Tengah, dihadiri oleh Kepala BPN Kebumen, FPPKS, YLBHI-LBH Semarang, KPA. Pihak BPN menyatakan bahwa TNI meng-klaim telah menggunakan kawasan tersebut sebagai kawasan militer dengan bukti peminjaman tanah untuk kawasan latihan militer. BPN juga menyatakan TNI belum memiliki hak atas tanah. Dalam pertemuan tersebut perwakilan masyarakat menyatakan memiliki hak atas tanah karena disertai oleh beberapa bukti warkah tanah.

Mensikapi pertemuan tersebut, Erwin Di Kristianto, YLBHI-LBH Semarang menyatakan: “Warkah tanah yang dimiliki warga membuktikan bahwa klaim tanah yang dimilki TNI adalah sepihak dan tidak berdasar. Sekarang tinggal kemauan politik dari BPN untuk menyelesaikan persoalan agrarian ini”.
“Petani Kebumen jelas telah menguasai serta menggarap tanah tersebut secara produktif. Kami akan terus berjuang merebut kembali hak atas tanah”, kata Seniman, FPPKS. “Negara harus mendahulukan kesejahteraan rakyat dalam menyelesaikan kasus ini, karena bagaimanapun, apa yang telah dikerjakan masyarakat selama berpuluh-puluh tahun mendiami wilayah tersebut harus dihargai. Kami menuntut TNI untuk mundur dari wilayah tersebut”, tutup Zaenal, KPA.    

0 komentar:

Posting Komentar