Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan | FPPKS |
Sekretariat: Jl. Daendels, Desa Kaibon Petangkuran Rt.02-Rw.03, Kec. Ambal, Kebumen 54392
Press-Release
Kawasan Hankam dan Eksploitasi Pasir Besi; Setali Tiga Uang !
Rencana pelaksanaan ekspoitasi pasir besi di kecamatan Mirit, salah satu kecamatan pesisir UrutSewu; yang diam-diam telah lewati tahapan Amdal, kini makin menjelaskan teori konspiratif Militer-Pengusaha-Penguasa. Makin jelas lah pula bahwa antara kepentingan “kawasan Hankam” dan “areal tambang pasir besi” adalah hulu dan hilir dari (kemelut) “blunder” yang sama di pesisir. Inilah hasil analisis sosial, ekonomi politik yang mendasarkan pada hasil riset Divisi Litbang dan Media Center FPPKS.
Sejarah “Klangsiran” Tanah UrutSewu
Dalih TNI-AD yang sejak 1982 membangun fasilitas Dislitbangad (berikut berbagai infrastruktur latihan dan ujicoba alutista) di desa Setrojenar (Buluspesantren), sebagaimana penjelasan Bupati Kebumen (Surat No:590/6774 ) dalam menanggapi surat Komnas HAM. Bahwa latihan TNI di UrutSewu telah dilaksanakan sejak tahun 1937 memanfaatkan tanah Negara dengan lebar k.l 500 meter dari air laut, dst. Terhadap dalih ahistoris ini telah dilakukan cross-check yang makin membuktikan bahwa dalih ini merupakan pembohongan sejarah dan pengingkaran fakta. .
Sejarah yang ada berkaitan dengan tanah-tanah sepanjang pesisir UrutSewu adalah apa yang dihasilkan dari proses pemetaan tanah 5 tahun sebelumnya. Yakni Klangsiran Tanah pada tahun 1932 yang dilakukan Negara (waktu itu oleh petugas Agraria atau popular disebut “nDoro Klangsir) dengan partisipasi luas masyarakat UrutSewu. Bukti yang berkaitan dengan batas “tanah Negara” dan tanah rakyat adalah keberadaan patok Pal-Budheg dan ditandai dengan kodevikasi Q222 (Setrojenar, Buluspesantren), Q216 (Entak, Ambal) dan Q215 (Kaibon, Ambal).
Posisi patok yang di desa lainnya disebut dengan Pal-Keben dan Pal-Tanggulasi ini tak ada yang melebih jarak sejauh 250 meter dari air laut. Jadi berkisar 200 hingga 220 meter saja. Hal ihwal berkaitan bukti sejarah ini dikukuhkan dengan kesaksian beberapa pelaku sejarah tanah pesisir UrutSewu. Bahkan beberapa kesaksian menyebutkan bahwa kepemilikan petani atas tanah sepanjang pesisir ini dari lantur (tepi desa) hingga banyuasin (tepi air laut). Beragam idiom lokal yang menandai sistem distribusi tanah-tanah sepanjang pesisir UrutSewu ini. Akan tetapi pada prinsipnya sama; di utara “Pal-Budheg” melekat hak pemilikan petani sepanjang pesisir UrutSewu.
Aspek Hukum Pertanahan
Kalau pun harus menyebut keberadaan “tanah Negara” di sana, maka ada beberapa landasan konstitusional yang harus dipatuhi; tetapi tidak berdasarkan tafsir sefihak dan perspektif kemiliteran sebagaimana “kacamata kuda” militer. Pertama, amanat substansial yang menjadi dasar konstitusi sebagaimana disebutkan pasal 33 UUD-1945. Dari sisi hukum pertanahan, spirit redistribusi tanah (gg/eighendom, erphact, opstal, dst), sebagaimana UU No.10/1963 (UUPA) mengamanatkan redistribusi tanah kepada rakyat petani. Karena essensinya, kekuasaan Negara atas tanah harus dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Sehingga jelas semua produk hukum di bawahnya, tidak dimaksudkan untuk secara otomatis mengalihkan kepemilikan tanah pesisir Indonesia, termasuk pesisir UrutSewu; kepada TNI-AD. Bahkan dengan dalih UU Pesisir sekali pun.
Apalagi di bawah semua ketentuan hukum terkait ihwal pertanahan itu, adalah pengalaman dan fakta empiris bahwa tanah-tanah di pesisir UrutSewu (terutama di dalam zona 500 meter dari air laut sebagaimana claim TNI-AD); banyak yang merupakan tanah-tanah pemajekan. Kalau pun tidak dipungut pajak, itu bukan kesalahan petani pemiliknya, melainkan semata kelalaian pemerintah, dalam hal ini institusi perpajakan. Kesaksian lain menyebutkan bahwa salah satu alasan pembebasan pajak di masa lalu adalah untuk meringankan tanggungan petani, mengingat penghasilan dari tanah pesisir, waktu itu, tidak menjanjikan nilai ekonomi yang signifikan.
Bahkan secara kasuistik terjadi pula perampasan tanah bagi bidang yang telah memiliki sertivikat Hak Milik. Seperti yang menimpa warga petani bernama Mihad (Setrojenar) yang proses memperoleh tanahnya dari membeli kepada Wono Dilogo (alm). Di atas tanah ini, sejak lama didirikan bangunan gedung menara pengawas TNI-AD berlantai 3, juga infrastruktur ujicoba kendararaan tempur amphibi; tanpa ganti rugi atau bahkan pamit ijin pun tidak.
Rupanya tafsir sefihak TNI-AD telah menimbulkan asumsi amat bias dan “klaim” yang ahistoris serta pengingkaran terhadap fakta hukum adat atas tanah-tanah rakyat. Perkembangan terburuk dari semua ini adalah “perampasan sistematis” yang mengarah dan bermuara pada penguasaan bahkan kepemilikan TNI-AD atas tanah sepanjang pesisir. Dan dominasi militer pada penguasaan yang bermula dari praktek wacana “kawasan hankam” telah menimbulkan banyak pengalaman traumatic berupa pelanggaran hak ekosob dan bahkan timbulnya korban jiwa di masa lalu. Sehingga secara faktual pantas disinyalir adanya indikasi telah terjadi pelanggaran terhadap hak-hak asasi petani. Salah satu upaya melegitimasi “perampasan sistematis” itu sebagaimana diinfiltrasikan ke dalam penyusunan draft Perda RTRW yang sejak semula ditolak mentah-mentah oleh DPRD, FPPKS dan warganya.
Tata Ruang Wilayah; Satu Muka Dua Wajah
Perdebatan formal mengenai rencana peruntukan ruang dan wilayah di Provinsi Jateng, telah lewat dengan ditetapkannya Perda RTRW Provinsi Jateng No.6, tahun 2010. Tetapi secara legal aturan daerah ini tengah “digugat” masyarakat melalui mekanisme permohonan uji materi ke Mahkamah Agung RI.
Di dalam Bab. VI tentang Penetapan Wilayah Strategis Pertahanan dan Keamanan Provinsi Jateng, menyebutkan peruntukan kawasan strategis hankam di Kebumen adalah wilayah Kecamatan Mirit (ps.107; butir: f). Tetapi inkonsistensi pemerintah kabupaten ini telah mencoba kebebalan untuk “mark-up” wilayah, sehingga rencana penetapan wilayah hankam menjadi sekaligus 3 kecamatan cakupannya. Surprise kepentingan apa sebenarnya? Dan lagi, yang namanya kawasan hankam tidak otomatis jadi “tanah milik TNI-AD” untuk kemudian “dijual” dan dieksploitasi hingga timbulkan ancaman kerentanan wilayah dan daya dukung tanah.
Demikian juga yang terjadi dengan tahap awal pembebasan tanah dalam rencana megaproyek pembangunan JLSS. Secara sembunyi-sembunyi, Panglima Kodam IV mengajukan permohonan ganti rugi “tanah TNI” yang terkena tras jalan. Ihwal “tanah TNI-AD” ini juga belakangan muncul dalam dokumen RKL dan dokumen Amdal pasir besi PT. MNC , yang tidak partisipatif sejak awal perencanaannya. Penyebutan 317,48 ha “tanah TNI-AD” atau bahkan “tanah milik TNI-AD” dalam sosialisasi tambang pasir besi, mencerminkan kelicikan pragmatis tentara belaka saat “kawasan Hankam” yang diklaim sebagai “tanah milik TNI-AD” ternyata disetujui diassetkan sebagai areal cadangan produksi tambang pasir besi.
Menyetujui asset yang bukan miliknya untuk dialihfungsikan melayani kepentingan eksploitasi yang beresiko merusak lingkungan; adalah kejahatan konspiratif. Jika ini dikaitkan dengan amanat Perda RTRW Provinsi Jateng yang ada; bermakna dualisme peruntukan. Satu sisi, TNI-AD harus bertanggung jawab terkait peruntukan wilayah hankam. Di sisi lainnya, harus bertanggung jawab karena telah memainkan peran layaknya “belantik” yang memaklari tanah Negara untuk dieksploitasi. Padahal, fakta sejarah menyebutkan tanah di kawasan itu adalah tanah petani di kawasan UrutSewu.
Pengaduan ke Komnas HAM
Langkah pengaduan yang secara resmi dilayangkan FPPKS ke Komnas HAM, sejauh ini, baru menghasilkan upaya awal yang belum signifikan. Tetapi justru pada langkah ini nampak jelas posisi politis Bupati yang seakan memainkan peran sebagai “juru bicara” TNI-AD di hadapan Komnas HAM. Itu lah sebabnya, petani UrutSewu kembali beraksi dalam barisan demonstrasi massa. Beberapa item dalam tanggapan Bupati, yang secara umum bahkan menyebut bahwa pengaduan warga adalah tidak benar. Deskripsi protes FPPKS atas tanggapan Bupati ini telah disampaikan kepada Komnas HAM.
FPPKS telah pula mendesak Komnas HAM untuk tidak lagi menggunakan modus korespondensi dalam kerja SubKomisioner Penyelidikan dan Pemantauan. Mengingat akselerasi issue dan konstelasi ekonomi politik dengan latar berbagai kepentingan di belakangnya, demikian cepat merubah keadaan dan mengancam rusaknya tatanan serta ekosistem di kawasan pesisir UrutSewu. Ancaman terhadap aspek tipografis pesisir yang memiliki “gumuk bergerak”, yang konon merupakan salah satu dari tiga keajaiban Asia; makin nyata di depan mata.
Semua itu akan jatuh ke tangan tentara dan untuk selanjutnya dieksploitasi bagi keuntungan investasi segelintir petinggi. Sementara di dalam obyek yang dieksploitasi itu ada melekat hak-hak sejarah, hak-hak pemilikan petani yang telah diabaikan selama ini. Ironisnya, penyelenggara Negara yang diserahi amanat kekuasaan untuk dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat; malah mengamini kegiatan eksploitatif ini. Padahal ada alternative sumberdaya lain di kawasan pesisir UrutSewu yang bukan saja amat potensial menjawab problem kemiskinan dan pengangguran. Tetapi juga lebih ramah lingkungan.
Pengembangan Tenaga Produktif Perdesaan
Aksi penolakan eksploitasi pasir besi menjadi include dengan penolakan kawasan hankam; bukan saja karena petani harus membela dan mempertahankan hak-hak kepemilikan, hak-hak ekosob (ekonomi sosial budaya). Tetapi juga karena dorongan kesadaran untuk menjaga bumi dari ancaman pengrusakan akibat eksploitasi sumber daya yang terbatas cadangannya. Akan lebih baik menghapus kawasan hankam yang berpotensi menimbulkan gangguan kehidupan petani. Inilah yang memotivasi aksi massa FPPKS kini.
Disamping kesadaran ekologis dan pembelaan hak tanah di kawasan ini; adalah kenyataan bahwa pemanfaatan kawasan UrutSewu sebagai pengembangan budidaya pertanian dan wisata telah merubah impian kemakmuran bersama semakin mendekati kenyataan. Terjadi perubahan perspektif pula di kalangan muda. Dimana anak muda kini tak segan bekerja di lahan, tak gengsi menjadi petani. Ada momentum baru bahwa sektor pertanian dengan pengembangan budidaya holtikultura nampak seperti magnet baru bagi kalangan pemuda di berbagai desa sepanjang pesisir UrutSewu.
Momentum itu bernama rintisan atau pra-industrialisasi berbasis budaya pertanian. Tradisi agraris tengah berkembang, setidaknya, selama decade terakhir ini. Semua telah menjadi prasyarat-prasyarat maju perkembangan tenaga produktif di perdesaan. Karena memang mobilisasi tenaga produktif yang seharusnya dapat memajukan desa, tidak malah berakumulasi di perkotaan. Sehingga taka da alasan untuk tidak mendukung tujuan essensial yang menjadi substansi tuntutan dalam aksi FPPKS ini.
Demikian pula, seharusnya, Bupati.
Aksi Penolakan Kawasan Hankam dan Eksploitasi Pasir Besi ini didukung oleh
- LPH. Yaphi Solo | IHCS (Indonesia Human Right for Social Justice) Jakarta | KM-UIN (Komunitas Mahasiswa Universitas Islam Negeri) Jakarta | GNPK-NU Kab.Kebumen | Banser GP.Anshor Cab.Kebumen | Ikatan Remaja Mirit | FMK-MiritSelatan | Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PD Muhammadiyah | Gampil (Gabungan Masyarakat Sipil) Kebumen | PMII Cab, Kebumen | SeTaM (Serikat Tani Merdeka) Kebumen | Sekolah Rakyat UrutSewu | Sereus (Serikat Remaja UrutSewu) | IRAQ (Ikatan Remaja al-Qomari) Entak | Serikat Buruh Migran Indonesia Kebumen | Muslimat-NU Ranting Setrojenar | Fathayat-NU Ranting Setrojenar |Bumi Roma Institute (BRaIn) Kebumen | INDIPT - Kebumen | Kelompok Studi Rehabilitasi Kawasan Pesisir – Jokja | Korjasena – Kebumen Selatan | Paguyuban Petani Ayamputih | Paguyuban Petani Setrojenar | Paguyuban Petani Brecong | Forum Masyarakat Kebumen Desa Entak | Forum Paguyuban Petani Kenoyojayan | Forum Paguyuban Petani Kaibon | Persatuan Pemuda Parkir Setrojenar | Pusat Studi & Riset Agrowisata Kawasan Pesisir – Kebumen | Serikat Tani Nasional (STN-PRM) Jateng | Tim Advokasi Tata Ruang Berkeadilan - Jateng | Perkasa (Persatuan Perangkat Desa) Kec. Ambal | Gapoktan “Agro Tangkur Sakti” Desa Kaibon Petangkuran | FBPK (Forum Bersama Peduli Kebumen) | Majlis Dzikir “UrutSewu” Kebumen |
@FPPKS_2010
Divisi Litbang & Media Center.
0 komentar:
Posting Komentar