Forum
Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA)
10
Februari 2013
Membayangkan dunia tanpa
petani/pertanian sama seperti membayangkan hidup tanpa pangan. Demikian pula,
membayangkan negara yang abai pada rakyat sama seperti membayangkan negara
tanpa kedaulatan. Saat ini, angan-angan (imajinasi) gelap itu justru hendak
diwujudkan oleh penyelenggara negara, dengan cara menjadi budak/antek-antek
korporasi.
Atas nama pembangunan, negara dan
perusahaan semakin gencar mengambil alih tanah petani. Atas nama kesejahteraan,
petani secara perlahan dan teratur diubah menjadi buruh cadangan. Atas
nama kepentingan umum, ruang hidup petani dipersempit bahkan dihilangkan
untuk memperkaya segelintir konglomerat. Atas nama kemajuan, petani dikelabuhi
untuk melepas hak hidupnya, melepas tanahnya, melepas pekerjaannya, melepas
jatidirinya, melepas kehormatannya sebagai rakyat; sebagai manusia.
Apa yang tertulis dalam UUD 1945
(konstitusi) sama sekali bertolak belakang dengan apa yang terjadi dalam
kenyataan. Tertulis bahwa: kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat,
kenyataannya: kedaulatan negara dan bangsa berada dalam kendali konglomerat.
Adalah fakta bahwa pemerintah bukan pelayan rakyat, melainkan hamba korporasi.
Negara yang semula dimaksudkan sebagai alat untuk mengelola kekuasaan dan alat
untuk mencapai kesejahteraan rakyat, kini justru beralih menjadi alat untuk
melestarikan penindasan terhadap rakyatnya sendiri, alat bagi komplotan politik
dan pemodal untuk menumpuk kekayaan. Di kampung bernama Indonesia ini, para
pencuri menyamar menjadi tamu agung dan lancang mengatur tuan rumah pemilik sah
kekayaan ibu pertiwi.
Hukum bukan lagi ruang di mana
rakyat dapat menemukan keadilan, tetapi hukum menjadi pembenaran atas
pelanggaran asas-asas keadilan. Saat ini, pemerintah mencanangkan pengurasan
kekayaan alam Indonesia dan pengusiran terhadap penduduk yang dianggap
menghambat perluasan modal, dengan produk hukum/kebijakan yang membenarkan
tindakan tersebut, antara lain:
- UU No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
- UU No 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial
- UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
- UU No 17 Tahun 2011 tentang Intelejen Negara
- RUU Keamanan Nasional
- PP No 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025
Sejarah Indonesia adalah sejarah
konflik agraria yang berlangsung sejak jaman kolonial, dan berlanjut hingga
kini. Konflik agraria belum selesai atau sengaja dirawat untuk mengukuhkan
tatanan yang menguntungkan penguasa dan pengusaha. Dan, di dalam konflik
agraria itulah, aksi-aksi kekerasan terhadap rakyat dilakukan oleh aparat negara
dan dilegitimasi atas nama undang-undang. Kriminalisasi, teror, intimidasi,
penculikan, dan penembakan terhadap petani/pejuang hak-hak rakyat adalah contoh
nyata bahwa negara memilih menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah.
Sementara, label kekerasan justru disematkan kepada rakyat yang dianggap
menghambat masuknya modal, dengan dalih bahwa: aparat negara menjaga
stabilitas keamanan (modal). Kekerasan juga dilakukan oleh elemen
masyarakat dengan cara mendukung wacana ala negara dan korporasi, dengan slogan
perjuangan: melawan tanpa kekerasan, agar rakyat tidak berbuat apapun
ketika negara mengkhianati amanat rakyat. Tindakan rakyat untuk
mempertahankan/merebut kembali hak-haknya bukanlah kekerasan, melainkan
perjuangan sebagaimana perjuangan bersenjata para pejuang kemerdekaan di jaman
kolonial.
Konflik agraria adalah tanda bahwa
rakyat belum merdeka, bahkan bukan hanya rakyat, melainkan juga tanda bahwa
negara telah kehilangan kedaulatannya. Kemerdekaan bukanlah kebebasan tanpa
batas, bukan pula antikerjasama, kemerdekaan adalah lepas dari ketergantungan;
berdaulat dalam mengambil keputusan; dan semangat untuk mengandalkan kekuatan
sendiri.
Forum Komunikasi Masyarakat Agraris
digagas, dirumuskan, dan dibentuk oleh komunitas-komunitas petani/masyarakat
yang menjadi korban persekongkolan Negara dengan Korporasi atas sumberdaya
agraria (ruang hidup). Dengan tema: Menuju Gerakan Akar Rumput yang Mandiri,
FKMA ke-2 meletakkan kembali posisi rakyat di atas negara, dan meletakkan
korporasi di bawah kendali negara. Dengan tetap waspada terhadap upaya-upaya
perampasan sumberdaya agraria/pasar tanah, FKMA ke-2 menghasilkan butir-butir
sebagai berikut:
1.
Melawan segala bentuk penindasan dan ketidakadilan akibat kejahatan korporasi,
negara dan persekongkolan keduanya dalam pengurusan sumberdaya
alam/agraria, yaitu:
a. Menolak latihan TNI dan ujicoba
senjata berat oleh TNI/AD, pertambangan pasir besi di Kebumen.
b. Menolak pertambangan pasir besi
dan Jalur Jalan Lintas Selatan Jawa di Kulon Progo.
c. Menolak pertambangan pasir besi
dan PLTN, PLTU, di Bandungharjo dan Balong, Jepara.
d. Menolak pertambangan karst dan
pendirian pabrik semen di pegunungan Kendeng, Pati.
e. Menolak privatisasi air tanah
oleh Proyek Pengembangan Gas Jawa (PPGJ) di Kradenan, privatisasi air
oleh PT Gendhis Multi Manis di Bentolo, dan pendirian pabrik semen di
pegunungan Kendeng, Blora.
f. Menolak rencana pertambangan
pasir besi di Wotgalih, dan menuntut penghentian pertambangan sepanjang pesisir
selatan Lumajang.
g. Menuntut pemulihan hak hidup
sepenuhnya korban LAPINDO dan bukan sekedar ganti rugi tanah dan bangunan dan
penolakan pengeboran LAPINDO di Sidoarjo.
h. Menolak penggusuran oleh
Pemerintah Kabupaten Bantul dengan dalih Pelarangan Pelacuran menurut Perda No
5 Tahun 2007, di Parangtritis, Bantul.
i. Menuntut pembubaran PTPN VII
Cinta Manis dan menolak keterlibatan TNI/POLRI dan paramiliter (preman) dalam
penanganan konflik agraria, di Ogan Ilir, Sumatera Selatan.
j. Menolak pembangunan pabrik Aqua
Danone dan Pembangunan Proyek Geothermal, di Padarincang, Banten.
k. Menolak pertambangan pasir di
Ciamis dan Tasikmalaya.
2.
Menyerukan/mengajak semua elemen masyarakat sipil untuk mendukung perjuangan
gerakan akar rumput menuju gerakan yang mandiri.
3.
Memaksa pemerintah untuk menghentikan kriminalisasi serta membebaskan petani
dan pejuang hak-hak rakyat dari tahanan akibat konflik agraria.
4.
Memerintahkan kepada Presiden RI dan jajaran penyelenggara negara untuk
mewujudkan hak-hak rakyat atas sumberdaya agraria/ruang hidup .
5.
Menyerukan korporasi untuk menghentikan segala upaya perampasan/pengambilalihan
lahan yang menjadi ruang hidup rakyat.
6. Mengecam keberpihakan TNI/Polri dan paramiliter pada
korporasi dan menolak aksi-aksi kekerasan TNI/Polri dan paramiliter dalam
penanganan konflik sosial.
7. Memerintahkan kepada segenap penyelenggara negara untuk
tidak membuat atau mencabut kebijakan yang menjadi legitimasi bagi perampasan
hak rakyat, terutama hak atas sumberdaya agraria.
8.
Mengecam segala bentuk persekongkolan antar elemen masyarakat, seperti LSM,
parpol, gerakan mahasiswa, organisasi masyarakat, organisasi keagamaan,
institusi pendidikan/akademisi, media, dan sebagainya yang melemahkan
perjuangan gerakan akar rumput/rakyat dalam memperjuangkan keadilan agraria.
9.
Menyerukan solidaritas untuk kelompok-kelompok masyarakat yang terampas
hak-haknya di seluruh dunia.
Yogyakarta, 10 Februari 2013
- Kelompok Tani BERDIKARI, Sumedang
- Urutsewu Bersatu, Kebumen
- Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP), Kulon Progo
- Forum Silaturhmi Masyarakat Wotgalih (FOSWOT), Lumajang
- Forum Nelayan (FORNEL) dan Persatuan Masyarakat Balong (PMB) Jepara
- Serikat Petani Blora Selatan, Gerakan Rakyat Menggugat (GERAM) Blora
- Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) dan Sedulur Sikep, Pati
- Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Front Pemuda Rengas (FPR) Ogan Ilir, Sumatera Selatan
- Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran (ARMP), Parangtritis, Bantul
- Suara Korban Lumpur LAPINDO/AL FAZ, Sidoarjo
- BALE RUHAYAT, Ciamis dan Tasikmalaya
- Gerakan Rakyat Anti Pembangunan Aqua Danone (GRAPAD), Banten
Delegasi 12 Komunitas Petani FKMA
tengah membacakan Pernyataan Sikap Kongres Petani Otonom II
0 komentar:
Posting Komentar