HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Kamis, 19 April 2012

Statement Solidaritas & Dukungan untuk FPPKS



Pemerintahan Elit SBY-Boediono harus bertanggung jawab terhadap kasus Setrojenar! Hentikan represifitas militer terhadap rakyat, Berikan Hak rakyat atas Tanah, Bangun Pemerintahan Persatuan Rakyat Miskin untuk Kesejahteraan!!!
Satu tahun berlalu namun tetap akan menjadi sejarah perjuangan rakyat miskin dalam menuntut haknya atas tanah. Insiden kekerasan di Urutsewu Desa Setro Jenar, Kecamatan Buluspesantren, Kabupaten Kebumen Jawa Tengah yang melibatkan TNI-AD dari Dinas Penelitian dan Pengembangan (DISLITBANG TNI-AD) Setrojenar pada 16 April 2011 Pukul 14.00 wib, semakin menambah panjang daftar kejahatan tentara (kekerasan bersenjata) dalam kasus-kasus konflik agraria yang melibatkan militer setelah Orde Baru. Peristiwa penembakan petani/rakyat yang dilakukan aparat TNI/Polisi-Brimob bukan baru kali ini terjadi, sudah seringkali arogansi dan keserakahan militer mengakibatkan jatuhnya korban di pihak warga/petani. Arogan, congkak, serakah, sok jago dan berkuasa atas nyawa dengan menenteng senjata, itulah wajah militer saat ini. Perseteruan antara warga Urut Sewu dan tentara/militer pun bukan kali ini saja. Perseteruan yang disebabkan oleh klaim palsu dari pihak TNI-AD atas tanah warga Urut Sewu yang dijadikan sebagai area latihan perang telah beberapa kali merugikan warga. Tanah warga yang ditanami berbagai komoditi tanaman pangan menjadi rusak akibat dipakainya tanah produktif tersebut untuk latihan perang. Bahkan, pada tahun 1987, beberapa anak kehilangan nyawa akibat meledaknya sisa-sisa bom yang tergeletak di atas tanah warga.  Kerugian yang diderita oleh rakyat khususnya petani juga dikarenakan setiap pelaksanaan latihan dan ujicoba senjata, selalu disertai larangan petani dan nelayan untuk bekerja. Di kawasan ini petani lahan pesisir banyak membudi-dayakan tanaman holtikultura yang membutuhkan perawatan rutin dan intensif.

Kepentingan modal (neoliberal) dan tentara vs rakyat Urut Sewu.

Munculnya Eksploitasi Tambang Pasir Besi.

Hal di atas adalah fakta terbaru selain sengketa lahan warga dan tentara (yang didukung pemerintah). 
"Di kawasan pertanian dan pariwisata tradisional bakal dijadikan areal pertambangan pasir besi. Ironisnya, kawasan yang semula dialokasikan untuk kawasan Hankam juga diassetkan sebagai bagian dari areal pertambangan pasir besi Mirit, Kebumen. Perkembangan terakhir yang paling mengejutkan paska dikeluarkannya Ijin Usaha Pertambangan No. 503/001/KEP/2011oleh KPPT Kab. Kebumen adalah lolos dan disetujuinya AMDAL yang di semua tahapannya tidak partisipatif. Apa makna dari semua ini? Kenapa TNI-AD juga menyertakan 317,48 Ha “tanah TNI-AD” (yang sejatinya bukan hak pemilikan TNI-AD) dari 591,07 Ha kebutuhan cadangan produksi dengan total kebutuhan 984,79 Ha (semula1.000,97 Ha) PT. MNC Jakarta. Komisaris utama korporasi penambang pasir besi ini juga seorang yang berasal dari kesatuan tentara. Artinya, usaha eksploitasi pasir besi di pesisir UrutSewu ini, tak lain adalah kepentingan dan bisnis “klan” tentara". (Sumber: dari selebaran yang dikeluarkan oleh Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan).

Sabotase tanah oleh rezim dari tahun ke tahun selalu membangkitkan perlawanan kaum tani Indonesia. Para petani sering dipaksa berhadap-hadapan dengan penguasa tanah (modal asing dan lokal), sebut saja PTPN, dll. Selain itu, seringkali juga para petani berhadapan dengan tentara, baik tentara itu sebagai penjaga modal maupun sebagai penguasa tanah itu sendiri.  Di tempat-tempat lain, kasus sengketa tanah antara kolaborasi negara-pengusaha-tentara versus rakyat banyak terjadi, dan rakyat miskin pasti menjadi korban. Mulai dari Wanosobo, Garut, Cianjur, Tasikmalaya, Bulukumba, Muko-muko, Labuhan Batu, Porsea, Luwu, Mangarai, Lombok Tengah, Halmahera dan Bayuwangi, semuanya menunjukkan bahwa pola-pola militeristik-lah yang digunakan untuk meloloskan kepentingan modal. Di tengah kepemilikan lahan yang rata-rata saat ini hanya 0.5 Ha untuk produksi pangan dan pertanian, fakta ini akan memperparah produktivitas pangan di masa yang akan datang serta berimplikasi buruk terhadap kedaulatan pangan rakyat.  

Liberalisasi dan kehancuran tenaga produktif rakyat.

Semakin masifnya liberalisasi pertanahan dimulai pasca National Summit 2009 dan semakin kuat dengan adanya dokumenTechnical Assistance ADB (Asian Development Bank) yang secara tehnis mengatur penyusunan RUU Pertanahan dan PP Reforma Agraria oleh BPN, dan ini menjadi proyek besarnya ADB dan World Bank. Proyek itu bernama LMPDP (Land Management and Policy Development Project/ Pengelolaan Tanah dan Proyek Pengembangan Kebijakan). Prosesnya sudah dimulai sejak tahun 2005 lalu, BPN sebagai eksekutor proyek telah menerima dana dari ADB sebesar 500.000 US$ dari total biaya proyek sebesar 625.000 US$.

Apa yang harus dilakukan saat ini?

Hal yang paling mendesak harus dilakukan sekarang adalah, bagaimana merumuskan taktik-taktik yang tepat untuk memenangkan tuntutan kaum tani. Beberapa hal yang bisa dilakukan adalah:

  1. Melakukan kampanye seluas-luasnya, untuk penyadaran terhadap tuntutan, kepada seluruh masyarakat dan organisasi-organisasi, agar mendapatkan dukungan yang luas. Kampanye ini bisa dilaksanakan melalui berbagai macam media, baik dalam bentuk aksi, seminar, konferensi pers, selebaran dan lain sebagainya
  2. Secara simultan terus menguatkan komitmen kepada anggota tentang tuntutan, sampai muncul kegembiraan dalam menuntut. Wadah-wadah atau organisasi yang dibangun kaum tani harus secara terus menerus diisi penyadaran, baik dalam bentuk diskusi, maupun pendidikan terjadwal.
  3. Menciptakan ajang-ajang perjuangan/perdebatan terutama dalam bentuk konsolidasi, penyadaran dan tindakan berlawan, yang harus semakin tinggi, sampai memiliki militansi. Penyatuan-penyatuan konsolidasi, harus mulai bisa semakin ditinggikan, dari mulai konsolidasi basis, antar basis diteritori terdekat, kota, antar kota terdekat, wilayah sampai dengan nasional.
  4. Meneliti/menemukan hambatan-hambatan mobilisasi, dan mencari jalan keluarnya. Biasanya kesulitan utama dalam mobilisasi kaum tani adalah tingkat represifitas yang tinggi, terutama hambatan dari preman-preman perusahaan, masalah yang biasa mucul lainnya adalah masalah keuangan, karena umumnya jarak tempat asal kaum tani sangat jauh dari kota sehingga hambatan untuk melakukan mobilisasi-mobilisasi ke kota menjadi besar. Semua hambatan-hambatan ini harus didiskusikan dengan massa luas dan ajaklah massa untuk ikut memikirkan jalan keluarnya.
  5. Meneliti spektrum kekuatan politik yang dapat diajak kerjasama. Kerjasama politik ini diperlukan untuk menambah daya tekan. Ditengah situasi penindasan yang dialami maka kaum tani sangat mungkin menggalang persatuan di sektornya sendiri atau bersama sektor masyarakat tertindas lainnya. Kerjasama yang dibangun, harus semakin menjadi permanen sehingga kekuatannya akan bertambah besar.
Bersama kaum buruh membentuk pemerintahan alternatif. Kaum buruh adalah kawan aliansi kaum tani yang paling strategis, hal ini dikarenakan, dua sektor inilah yang paling menderita atas penindasan kapitalisme, dan nyaris tidak ada perbedaan yang radikal demi kepentingan sosialisme, kepemilikan tanah kecil oleh petani hanyalah proses transisional. Kepemilikan tanah kecil tidak akan merusak kepentingan sosialisme sejauh kontrol terhadap negara dapat dipegang demi kepentingan sosialisme dan sejauh menyokong perjuangan kaum tani melawan borjuasi.

Persoalan-persoalan di atas memang tidak akan bisa dimenangkan rakyat tanpa adanya gagasan penyatuan perlawanan dari seluruh unsur rakyat untuk menjatuhkan pemerintahan agen imperialisme SBY-Boediono, beserta tentara-tentara penjaga modalnya (kekuatan militer). Dari situasi di atas, kami dari Persatuan Politik Rakyat Miskin (PPRM) DIY-JATENG mendukung serpenuhnya perjuangan rakyat Setrojenar, Urut Sewu, Kebumen dalam menuntut hak-hak rakyat atas tanah dan menuntut:

1.      1. Pemerintahan Elit SBY-Boediono harus bertanggung jawab terhadap kasus Setrojenar.
2.   2. Hentikan Tindakan represif aparat terhadap rakyat yang sedang berjuang menuntut hak atas tanah.
3.     3.  Kembalikan tanah warga dan berikan hak sepenuhnya warga untuk mengolah tanah.
4.      4. Hentikan aktifitas latihan perang TNI-AD Setro Jenar, Kebumen.
5.      5.Seret, tangkap, adili dan penjarakan aparat pelaku kekerasan beserta perwira-perwira tingginya.
6.      6. Berikan tanah, modal dan tehnologi pertanian yang modern dan massal bagi petani.
7.      7. Bubarkan komando teritorial tentara.

Kami juga menyerukan untuk seluruh rakyat miskin Indonesia, untuk segera bersatu dalam gerakan rakyat mandiri menuntut kesejaahteraan rakyat dan tinggalkan seluruh Elit politik penindas rakyat. Tidak ada dalam sejarahnya Elit politik saat ini mampu memberikan kesejahteraan untuk rakyat. Hanya ada satu jalan untuk rakyat bisa sejahtera yaitu dengan membangun persatuan gerakan rakyat mandiri, melalui metode perjuangan pendudukan pusat-pusat pemerintahan, Aksi Massa, Rapat Akbar sehingga rakyat bisa mengambil alih kekuasaan dan membangun pemerintahan persatuan rakyat miskin untuk kehidupan yang adil, setara dan sejahtera.

Ari Lamondjong-085729074359
Juru Bicara PPRM DIY-JATENG

Sekretariat: Jl. Letjen S Parman, Gang Kresno No. 16B Patangpuluhan-Yogyakarta
 Telp: 0274-382179   Email: pprm.diyjateng@gmail.com                                                                   
CP: Arie Lamondjong-085729074359, Daniel Ariessandi-085643423156


PERNYATAAN SIKAP


Pada hari ini, Senin 16 April 2012 menjadi hari yang tak pernah dilupakan dalam sejarah perjuangan petani di Kawasan Urutsewu, terutama bagi warga dan petani desa Setrojenar, kecamatan Buluspesantren, Kabupaten Kebumen. Karena apa? Karena semua resiko dan konsekuensi dari sebuah perjuangan yang membutuhkan pengorbanan, telah dimaknai secara sadar dan nyata; baik di tingkatan wacana dan niat perjuangan, maupun dalam implementasinya sebagai sebuah sikap dan tindakan bersama. Integritas demikian telah teruji dalam peristiwa apa yang kami sebut sebagai Tragedi Setrojenar 16 April 2011.

Tragedi Setrojenar 16 April 2011 adalah peristiwa berdarah yang tidak berdiri sendiri. Apabila mau dirunut secara jujur dan nglenggana , maka peristiwa berdarah ini merupakan puncak konflik yang  memiliki tautan langsung berkaitan dengan pertarungan kepentingan. Dan semuanya mengancam kepentingan pengembangan pertanian pesisir selatan. Pertarungan kepentingan yang sama-sama berlawanan dengan kepentingan pertanian itu antara lain karena ada kepentingan militer di satu sisi dan kepentingan pengusaha atau korporasi di sisi lainnya.

Sektor pertanian yang sejak lama termarginalkan oleh pengurangan dan penghapusan berbagai subsidi negara, terpaksa harus berhadapan dengan persoalan lain yang ditimbulkan oleh dua kepentingan lainnya yang secara diametral berlawanan dengan kepentingan untuk budidaya pertanian secara modern dan berkesinambungan. Pertentangan ini menjadi cikal bakal konflik agraria di kawasan agraris pesisir Urutsewu.

Pada awalnya memang terjadi penyesuaian yang baik antara pemanfaatan kawasan pesisir Urutsewu untuk tradisi pertanian dan kebiasaan latihan militer maupun ujicoba senjata berat. Meskipun bukan berarti tak menimbulkan masalah yang merugikan petani. Kerugian petani bukan semata karena tanaman rusak akibat latihan, tetapi karena setiap ada latihan dan ujicoba senjata berat, selalu disertai larangan bagi petani dan bahkan nelayan untuk melakukan kegiatan pertaniannya. Pernyataan-pernyataan yang akan mengganti  jika menimbulkan kerugian, hanyalah retorika dan tidak memiliki integritas. Kasus tewasnya 5 anak desa Setrojenar (2007) dan 1 anak Desa Ambalresmi (1982) menjadi fakta dari inkonsistensi itu. Beberapa orang lain di desa lainnya juga terluka sebagai dampak dari pemanfaatan kawasan pertanian sebagai areal latihan dan ujicoba senjata berat.

Bahkan dalam perkembangannya kebiasaan berlatih dan tradisi ujicoba senja berat (alutsista) di kawasan ini menjadi dasar klaim penguasaan dan/atau pemilikan militer atas tanah-tanah di kawasan pesisir Urutsewu.  Beberapa petinggi mengingkari kenyataan ini, tetapi secara sistematis upaya legitimasi penguasaan tanah dilakukan dengan berbagai dalih, opini, wacana dan program serta penyusunan aturan-aturan baru yang pada prinsipnya mengabaikan sejarah tanah dan hak pemilikan petani, serta pemilikan adat desa atas tanah-tanah di kawasan itu. Munculnya Raperda RTRW, program sismiop, issue kawasan hankam hingga hankamnas, adalah sebagian dari upaya sistematis yang ujung-ujungnya mengancam kedaulatan petani dan hak-hak masyarakat adat atas kawasan Urutsewu ini.

Maka dengan ini kami menyatakan sikap sebagai berikut:
1.      
      1. Bahwa perjuangan petani dan masyarakat Urutsewu, termasuk petani desa Setrojenar, bukanlah melawan kepada negara dan pemerintah sebagaimana ditudingkan sementara orang, melainkan adalah perjuangan suci untuk mempertahankan hak atas tanah,  juga perjuangan menjaga dan melindungi bumi dari ancaman kerusakan dan eksploitasi;

2.       2. Tetap konsisten pada tuntutan menolak kawasan hankam, menolak latihan dan ujicoba senjata berat, menolak rencana dan realisasi pertambangan pasirbesi di seluruh Urutsewu serta menuntut segera ditetapkannya kawasan Urutsewu sebagai kawasan pertanian dan pariwisata;
3.       
      3. Bahwa hukum harus ditegakkan dan diterapkan tanpa pandang bulu. Usut secara tuntas dan adili para pelaku tindakan kekerasan brutal yang telah melukai 13 petani dan warga, serta merusak 12 sepeda motor pada Tragedi Setrojenar 16 April 2011 silam;

Demikian pernyataan sikap ini disampaikan untuk mengingatkan semua fihak, terutama pemerintah, penyelenggara dan aparatur negara yang  berwenang, demi terpenuhinya hak-hak dan keadilan bagi semua.

______________________________________________________

Pernyataan sikap ini didukung oleh:
Komnas HAM (Jakarta), KontraS (Jakarta), IHCS (Jakarta), Jatam (Jakarta), HRSI (Jakarta), Solidaritas Perempuan (Jakarta), Serikat Tani Nasional (Jakarta), Forum Komunikasi Masyarakat Agraris (Jawa), PPRM (DIY-Jareng), Solidaritas Tolak Tambang  Besi (Jokja), YLBHI-LBH Semarang, LPH Yaphi Solo, LBH Jokja, PPLP-KP (Kulonprogo), Sarekat Petani Banten (Jabar), Pandarincang (Garut, Ciamis, Pangandaran), Kendeng Lestari (Pati), Foswot (Lumajang, Jatim), FKMA-Biltar, Forum Masyarakat Korban Lumpur Lapindo (Porong, Sidoarjo), LBH Pakhis (Kebumen), PMII Cab. Kebumen, Gerakan Masyarakat Sipil (Gampil, Kebumen) 

Sabtu, 14 April 2012

Peringatan Setahun Tragedi Setrojenar:


Peringatan Tentang Impunitas Militer Indonesia

Mereview peristiwa tragis serangan brutal militer terhadap petani dan warga sipil yang terjadi setahun yang lalu, diharapkan akan membuka mata semua orang sehingga dapat menilai lebih obyektif kenapa tragedi ini terjadi. Tragedi yang terjadi di blok Pendil desa Setrojenar, Kec. Buluspesantren, Kebumen selatan ini telah menyebabkan 13 orang terluka parah dan harus dirawat di RSUD Kebumen, 6 diantaranya mengalami luka tembak, 1 menderita patah kaki, 1 cacat penglihatan; dan 1 orang lagi luka traumatis kambuhan (sering pusing dan mual-mual) dan terpaksa diopname di RSUD yang sama, sebulan yang lalu karena ada pembekuan darah di bagian kepala.  Diantara para korban, terdapat warga dari luar desa Setrojenar, termasuk seorang mahasiswi UI yang tengah melakukan riset konflik ekologi-politik di kawasan pesisir Urutsewu ini.

Sebanyak 12 sepeda motor berbagai merk juga ikut menjadi korban tindakan brutal militer. Satu diantaranya adalah motor dinas plat merah milik Kades Setrojenar.  Bahkan hingga saat ini keberadaan 12 sepeda motor ini makin tak jelas statusnya, meski memang berada di markas Sub Denpom di Purworejo. Warga pemilik barang yang dirusak ini dengan didampingi Tim Advokasi Petani Urutsewu Kebumen (TAPUK) pernah menanyakan perihal nasib 12 sepeda motor ini, tetapi tak pernah mendapat jawaban jelas dan terbuka, kecuali hanya disarankan untuk langsung menanyakan ke Denpom atasan di Semarang. Hal yang dirasa sangat merepotkan warga dan petani pemiliknya.

Penanganan pasca tragedi ini dianggap berhenti di tempat dan mengabaikan rasa keadilan masyarakat. Pasalnya, 6 petani yang dianggap merusak gapura dan melakukan kekerasan terhadap kurir logistik, dikriminalisasi dan usai menjalani hukuman yang telah diputuskan PN Kebumen. Sedangkan oknum militer dan komandan lapangan yang melakukan tindakan brutal, penganiayaan dan penembakan terhadap petani; tak ada proses hukumnya. Militer juga melakukan tindakan kekerasan dengan merusak 12 sepeda motor milik petani dan bahkan juga warga luar desa. Tim Advokasi Petani Urutsewu Kebumen (TAPUK) menengarai bahwa tindakan brutal TNI, terutama prajurit Yonif 403 yang tak memahami inti persoalanini bukan sekedar persoalan prosedural. Di tingkatan komandan mestinya juga harus bertanggung jawab secara hukum. Apalagi petani telah menunjukkan tanggungjawab hukumnya.    

Peringatan “Setahun Tragedi Urutsewu” di Setrojenar

Serangan brutal militer terhadap warga sipil dan petani setahun lalu, sejatinya, tak bisa dipisahkan dari apa yang menjadi tuntutan mayoritas petani kawasan Urutsewu di pesisir selatan Kebumen. Tuntutan ini telah dimanifestasikan ke dalam 3 substansi. Pertama, warga petani menolak latihan TNI dan ujicoba senjata berat di seluruh pesisir Urutsewu. Kedua, warga petani menolak rencana penambangan pasirbesi di kawasan berpasir ini. Ketiga,  warga petani menuntut segera ditetapkannya kawasan pesisir Urutsewu sebagai kawasan pertanian dan wisata rakyat. Perihal ketiga tuntutan yang telah amat jelas ini pernah diwujudkan melalui 2 kali aksi demonstrasi ribuan massa petani; yakni pada tanggal 14 Mei 2009 dan 23 Maret 2011 ke DPRD dan Bupati kebumen.

Warga desa Setrojenar dengan dukungan warga lain desa serta didukung banyak lembaga membentuk panita yang akan menggelar hajatan peringatan ini dengan caranya sendiri. Tetapi pada intinya dilandasi oleh pemikiran bahwa yang dilakukan oleh petani Urutsewu bukanlah melawan Negara, sebagaimana dituduhkan sementara orang. Melainkan semata memperjuangkan hak penguasaan dan/atau hak pemilikan serta kedaulatan ruang atas kawasan yang sejak dulunya menjadi basis budidaya agraris ini. Termasuk menjadi basis industri garam rakyat yang popular disebut masa sirat di jaman pemerintahan kolonial Hindia-Belanda. Bahwa sejak lama telah digunakan oleh militer untuk keperluan latihan dan ujicoba senjata berat, itu memang diakui, tetapi sejauh ini ada pengertian dari fihak militer bahwa kawasan yang dipergunakan untuk itu adalah kawasan milik petani dan banda desa sepanjang pesisir Urutsewu.

Ketua panitia, Nur Hidayat, yang juga mantan Kades Setrojenar, atas kesepakatan warga Urutsewu sengaja mengundang berbagai fihak untuk menghadiri perhelatan mengenang “Setahun Tragedi Setrojenar” ini. Panitia sengaja mengundang unsur birokrasi dan bahkan juga pejabat militer. Diantaranya ada Gubernur Jateng, Pangdam IV/Diponegoro,  Detasemen Polisi Militer, Danrem Pamungkas, Dandenpom Yogyakarta, dan SubdenPom Purworejo, Bupati, Dandim Kebumen, Ketua DPRD, Ketua Pengadilan, Para Camat dan Kepala Desa di wilayah Urut Sewu.

Sedangkan dari kalangan organisasi petani ada Forum Masyarakat Wotgalih (Foswot)Lumajang (Jawa Timur), Solidaritas Tolak Tambang Besi (STTB) Yogyakarta, Paguyuban Petani Lahan Pesisir (PPLP-KP) Kulonprogo, Korban Lumpur Lapindo Porong Sidoarjo, Sarekat Petani Banten, SeTaM Cilacap, SeTaM Kebumen, Pandarincang (Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Pangandaran) dari Jawabarat. Dari kawasan Urutsewu hadir juga “Laskar Dewi Rengas” yang bermarkas di Tlogopragoto (Mirit), yang belakangan gencar menentang masuknya pertambangan pasirbesi. Tak luput beberapa perwakilan dari desa-desa se kawasan pesisir Urutsewu, seperti dari Puring, Petanahan, Klirong, Buluspesantren, Ambal, Mirit; akan menghadiri. Peringatan ini juga dihadiri LBH Semarang, LBH Yogyakarta, LPH-Yaphi Solo, SeTam Yogyakarta. Perhelatan peringatan “Setahun Tragedi Setrojenar” ini didukung dan akan dihadiri pula oleh Komnas HAM (Jkt), KontraS (Jkt), Elsam Jakarta, IHCS Jakarta, HRSI Jakarta, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Solidaritas Perempuan (Soliper) Jakarta.

Pelaksanaan acara peringatan ini, secara umum, akan dilaksanakan di lapangan terbuka dalam 2 sessi, dengan penjelasan: 
1.      
           1. Minggu, 15 April 2012, jam 20.00 wib – 24.00 wib, acara Mujahadah Bersama dan Pemutaran Video yang berkaitan dengan konflik TNI vs Petani. Di lapangan terbuka blok Pendil desa Setrojenar;
2.       2. Hari Senin, 16 April 2012, jam 08.00 wib – 13.00 wib, acara Istighotsah, Vergadeering, Mimbar Orasi, Penyampaian Statement Bersama dan Pengajian Akbar. Tempat di lapangan terbuka blok Pendil, desa Setrojenar.