Fakta bahwa
perjuangan petani kawasan pesisir Kebumen selatan dalam penolakan pemanfaatan
lahan untuk latihan perang dan ujicoba senjata berat serta eksploitasi tambang pasir besi; dikandaskan pemerintah.
Padahal jika dicermati secara kritis, dalam rentang puluhan tahun ke depan
dimana bakal dibangun jaringan jalan lintas Jawa selatan, kawasan ini sangat
tak memenuhi syarat keamanan jika untuk kawasan latihan dan ujicoba senjata
berat. Namun dengan dalih pentingnya pertahanan dan keamanan (hankam), maka
kawasan yang sejak jaman kolonial menjadi basis produksi agraris termasuk industri
garam rakyat di masa sirat lalu itu
pun; bakal tercerabut akar sejarahnya. Ironi terpahit atas semua ini, Pemkab
Kebumen melegitimasi bercokolnya TNI-AD atas kawasan ini dengan merancang Perda
Rencana Tata Ruang Wilayah. Begonya lagi, DPRD bakal mengesahkan regulasi
daerah yang akan diberlakukan selama 20 tahun (2011-2031) ini.
Pergolakan di kawasan Urutsewu
yang diwujudkan dalam perlawanan petani untuk menolak okupasi lahan pertanian,
termasuk zona-zona pariwisata rakyat; dikandaskan oleh sepotong regulasi daerah
yang mengabaikan aspirasi rakyat petaninya. Demonstrasi dan aksi-aksi unjukrasa
selama 5 tahun terakhir, yang melelahkan dan nggetih (berdarah-darah) pun, seolah dianggap angin lalu. Beberapa
pejabat daerah, saat berbincang masalah ini cuma mengajak masyarakat untuk “melupakan”
saja kesalahan masa lalu. Padahal “tragedi Setrojenar” (16/4) sendiri masih
menyisakan banyak fakta dilecehkannya keadilan hukum dan keadilan sosial. Belum
lagi peristiwa timbulnya korban cacat dan tewasnya anak-anak petani pesisir
sebagai dampak digunakannya lahan pertanian untuk latihan perang dan ujicoba
senjata. Mereka tewas tanpa mendapatkan santunan.
Sebenarnya rakyat Urutsewu marah
atas semua ini. Di tengah kemelut konflik agrarian yang tak pernah diupayakan
secara adil penyelesaiannya; muncul lah investor pertambangan pasir besi yang
juga bakal mengeksploitasi pesisir dan lahan-lahan pertanian hortikultura.
Makam umum, areal pangon, sawah, kebun melon, lahan semangka, ladang jagung dan
sayuran lainnya; bakal menyusut. Sementara populasi dan kebutuhan ketersediaan
lahan berkembang. Penyusutan lahan bagi pra-industrialisasi pertanian ini
menyusut secara signifikan. Terdesak oleh ekspansi modal yang merupakan
kekuatan penggusur baru dan yang didukung negara usang untuk melayani
kepentingan industri dan korporasi asing.
Wacana hankam (mengusung subtema areal latihan
dan ujicoba alutsista TNI-AD, ditambah muatan issue pangkalan TNI-AL, sekaligus
pertambangan pasir besi include di dalamnya) dengan issue nasionalisme yang tak pernah konsisten
dan faktual; adalah kepentingan konspiratif. Semua dapat dianalogikan dalam idiom
lokal sebagai hanya dalih kudhung
welulang macan, mengalahkan urgensi kesejahteraan umum petani pesisir yang
telah lebih dari satu dekade mulai merintis industrialisasi pertanian
hortikultura; yang produktif meskipun minim dukungan negara. Intensitas
budidaya lahan pesisir bahkan telah sanggup menciptakan perspekstif baru berupa
kebanggaan angkatan muda desa-desa se Urutsewu terhadap aspek pertanian fenomenal
pra modernitas budaya agraris. Pertanian
bukan lagi sektor yang kumuh dan terbelakang.
Fakta empiris ini tak pernah
dipermanai sebagai perkembangan sejarah budaya agraria yang penting dan
strategis. Pressure “kepentingan nasional” telah menafikan visi tentang
kemandirian daerah. Dan kemunculan regulasi daerah tentang pengaturan umum
pemanfaatan kawasan bakal menjadi instrumen baru untuk melegitimasikan
perampasan sistematis atas tanah-tanah pesisir Urutsewu. Tragisnya..
(bersambung ke bag. 2)
(bersambung ke bag. 2)
0 komentar:
Posting Komentar