Sabtu (14/5) beberapa warga yang terdiri dari petani dan pemuda desa Setrojenar melakukan aksi di jalan desa. Aksi ini merupakan kali pertama pasca desa ini diserang tentara (16/4) lalu. Aksi ini dilakukan sekitar 50-an warga, termasuk perempuan, dilakukan karena kesadaran terhadap beberapa hal. Pertama, bahwa situasi di desa ini mendesak harus dipulihkan. Hal ini dianggap penting, karena beberapa malam paska serangan brutal yang dilanjutkan sweeping ke pemukiman sipil, kampung ini selalu di dimasuki intel pada dinihari. Kedua, karena substansi yang menjadi tuntutan dalam aksi-aksi sebelumnya merupakan upaya yang paling konsisten dalam mempertahankan hak, bukan saja petani desa Setrojenar dan Brecong, melainkan petani di seluruh kawasan Urutsewu pada umumnya.
Mempertahankan hak petani, ini hakekat dari resistensi yang dibangun. Jadi bukan melawan negara, melawan tentara, atau apa. Pemikiran bahwa kawasan pesisir Urutsewu ini harus dimanfaatkan untuk kawasan pertanian dan agrowisata, bukan saja sebuah pemikiran visioner jangka panjang yang seharusnya. Tetapi juga karena merupakan keniscayaan sejarah yang wajib diluruskan. Karena dalam sejarahnya, tentara berlatih dan memanfaatkan pesisir Urutsewu itu pada dasarnya adalah "pinjam pakai" dan meneruskan kebiasaan tentara kolonial. Baik untuk kebutuhan latihan maupun untuk ujicoba senjata berat. Meskipun sejak awalnya; yakni pada awal dekade 80-an telah memakan korban nyawa anak warga desa Ambalresmi (Ambal, 1980) maupun 5 anak warga desa Setrojenar (Buluspesantren, 22 Maret 1997). 10 Temuan KontraS: TNI AD vs Warga Kebumen
(dari: DetikNews)
Jakarta - Tim pencari fakta Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) baru saja menyelesaikan investigasinya untuk kasus bentrok antara warga dengan prajurit TNI di Kebumen, Jawa Tengah. Fokus pencarian fakta adalah rangkaian tindak kekerasan pada 16 April 2011 lalu.
Di dalam kerjanya tim menggunakan kerangka kerja yang digunakan hukum positif Indonesia. Yakni UU 39/1999 tentang HAM, UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM, UU 5/1998 tentang Ratifikasi Konvensi anti penyiksaan, UU 11/2006 tentang ratifikasi Konvensi Hak Sipil dan Politik.
"Tim juga memperhatikan aturan-aturan terkait hukum militer dan tanggung jawab polisi dalam KHUPM, UU 31/1997 dan UU 2/2002 tentang Polri," kata Koordinator KontraS, Haris Azhar, dalam pengantar surat elektronik yang diterima redaksi detikcom, Minggu (15/5/2011).
Sementara jumlah saksi yang dianggap memenuhi layak diminta keterangannya ada 11 orang. Mereka adalah warga yang melihat langsung dan menjadi korban kekerasan pada saat, sebelum dan sesudah peristiwa terjadi.
Berikut ini 10 butir temuan tim pencari fakta KontraS di desa Setrojenar, Buluspesantren di mana peristiwa kekerasan terjadi;
1. Telah terjadi serang (kekerasan dan stereotype) terhadap warga sipil yang disengaja dilakukan oleh anggota TNI, Sabtu, 16 April 2011.
Sekitar pukul 14.30 – 15.00 WIB, sejumlah anggota TNI AD keluar dari Dislitbang AD II lengkap dengan senjata api laras panjang, stik/ tongkat bergerak mendekati kerumunan warga di perempatan Jl. Diponegoro. Jarak + 20 meter dari warga, anggota TNI AD tersebut mulai melepas tembakan ke arah warga, menyerang, menangkap, menyiksa dan menembaki sejumlah warga. Tindakan ini dilakukan sebagai respon atas aksi warga yang melakukan blokade.
Sekitar pukul 15.00 – 17.00 WIB, anggota TNI AD terus mengejar warga desa hingga ke sekitar menara pantau (arah Selatan) dan juga masuk ke Desa Setrojenar. Di desa Setrojenar, anggota TNI AD melakukan penyisiran terhadap beberapa warga desa. Sementara itu, blokade warga kembali dirusak.
Sekitar pukul 17.00 WIB, di salah satu rumah warga desa Setrojenar, anggota TNI AD mendobrak pintu depan rumah dan pintu kamar bahkan memberondong tembakan di dalam kamar tersebut.
Sekitar pukul 22.00 WIB, sejumlah anggota TNI AD kembali rumah tersebut hanya untuk membersihkan selongsong peluru. Dalam rangkaian tindakan kekerasan tersebut sempat terjadi ancaman kekerasan secara verbal berupa ucapan, “Mati Kau!..Mati Kau!”; “Biarin..Biarin Mati, Dasar Kamu PKI” yang dilontaskan anggota TNI selama peristiwa tersebut terjadi.
2. Terjadi tindakan tidak manusiawi yang dilakukan anggota TNI di dalam penyerangan terhadap sejumlah warga sipil (13 warga mengalami luka-luka berat dan dirawat di RSUD Kebumen, 6 diantaranya mengalami luka tembak sementara lainnya mengalami luka lebam di wajah dan beberapa bagian tubuh lainnya akibat tendangan, injakan, dan pemukulan dengan tongkat dan popor senjata bahkan salah seorang korban mengalami retak tulang kaki kiri).
3. Terjadi tindak kekerasan berupa pemukulan dengan tongkat, tendangan, diinjak terhadap sejumlah individu yang melakukan pendokumentasian terhadap rangkaian peristiwa kekerasan.
4. Telah terjadi pengerusakan rumah wisata/ dagang warga di sekitar pantai Urut Sewu dan salah satu rumah akibat penyisiran anggota TNI AD.
5. Telah terjadi penangkapan sewenang-wenang (tanpa bukti dan tidak tertangkap tangan melakukan kejahatan dan pelanggaran) terhadap sejumlah orang yang dilakukan oleh anggota TNI.
6. Sejumlah anggota TNI melakukan patroli diwilayah warga masyarakat dengan cara menyisir sekitar desa Setrojenar pada dini hari (03.00 – 04.00 WIB) paska peristiwa terjadi dalam kurun 2-3 hari.
7. Terjadi pembiaran penyerangan TNI terhadap warga masyarakat oleh anggota Kepolisian (Marti dan Bambang, keduanya adalah intel Polres Kebumen)
8. Kondisi masyarakat masih banyak yang mengalami ketakutan dan trauma atas peristiwa kekerasan.
9. Banyak warga masyarakat terutama yang laki-laki menjadi target teror (terutama warga yang aktif di FPPKS dan tokoh masyarakat desa Setrojenar) dan potensial dikriminalkan.
10. Ditemukan puluru tajam dengan type kaliber 7,62 dan 7,60 mm (untuk senjata laras panjang) serta 9 mm (untuk senjata laras pendek/ pistol) disekitar lokasi peristiwa (perempatan Jl. Diponegoro). Selain itu juga ditemukan selongsong peluru karet di dalam rumah salah satu warga desa Setrojenar (rumah tersebut diberondong tembakan saat penyisiran di sore hari setelah peristiwa).
0 komentar:
Posting Komentar