Perlawanan massarakyat petani UrutSewu hari ini berhasil menggagalkan rencana latihan TNI-AD dan ujicoba meriam bikinan Korea. Sejumlah personel tentara berikut perlengkapan senjata sempat tertahan di dalam kompleks Dislitbangad dan tak bisa dikeluarkan dari pusat latihan di desa Setrojenar. Kepungan massa dan blokade di beberapa titik jalan desa itu telah menutup akses ke lokasi medan ujicoba senjata berat di dekat pesisir.
Mayoritas petani desa Setrojenar dan Brecong menghentikan aktivitas bertaninya untuk aksi penolakan kali ini. Dukungan aksi juga mengalir dari Ayamputih, bahkan juga dari desa Entak, Kenoyojayan dan Kaibon Petangkuran di Kec. Ambal. Karena memang dampak dari ujicoba ini beresiko terhadap semua desa di sepanjang pesisir UrutSewu. Sebenarnya masalah penolakan terhadap latihan dan ujicoba ini telah beberapa kali mencuat jadi aksi massa.
Bahkan metode aksi massa ini pernah menghasilkan kesepahaman bahwa sebelum ada penyelesaian yang permanen terkait keberadaan tanah-tanah milik petani di dalam zona yang diklaim sebagai kawasan TNI-AD ini, supaya jangan ada kegiatan militer dulu. Tetapi selalu terulang latihan dan ujicoba senjata dilaksanakan kembali di kawasan itu, dengan mengabaikan kemelut yang ada.
Sejak dulu memang tak pernah terjadi penyelesaian permanen atas kemelut kawasan ini. Tetapi pada jelang akhir masa jabatan Bupati KH. Nashiruddin AM, ada klaim bahwa persoalan ini telah selesai dan TNI-AD dapat latihan lagi. Padahal soal mediasi penyelesaian itu bohong belaka, karena cuma acara silaturahmi dan beberapa perwakilan petani bahkan “walk-out” sebelum tiba acara makan siang di pendopo Bupati.
Pemblokiran Massa
Pemblokiran bukan saja dilakukan dengan cara bikin barikade pohonan yang ditebang dan dilintangkan di badan jalan. Tetapi massa juga mengepung pintu di halaman kompleks DislitbangAD. Sehingga akses keluar masuk tertutup total, termasuk pasokan logistik untuk kebutuhan konsumsi bagi personel tentara yang terjebak di dalamnya. Di atas lapangan dalam kompleks DislitbangAD juga ditaruh senjata meriam bikinan Korea yang rencananya hendak diujicoba.
Isolasi ini berlangsung sejak malam (10/4) juga pagi hingga sore hari Senin (11/4) saat aksi pemblokiran massa menguat. Hanya toleransi dan pertimbangan kemanusiaan lah yang kemudian membolehkan adanya pasokan rangsum ke dalam kompleks setelah waktu maghrib.
Polisi yang pada saat jelang senja bermaksud memfasilitasi evakuasi pun diusir warga. Termasuk truk militer yang akan dipakai untuk menggandeng senjata meriam dan sarana angkut personel, dipukul mundur oleh massa yang mempersenjatai diri dengan bambu runcing, golok, pedang dan senjata tajam petani. Meskipun situasinya rawan, namun di dalam aksi ini mendapat dukungan para ibu yang berpartisipasi. Anak-anak juga berada di lokasi aksi.
“Siapa yang bertanggungjawab dalam proses evakuasi ini?”, teriak Afifudin, petani desa Entak (Ambal) lewat megaphone.
Sementara itu, negosiasi delegasi petani dengan komandan latihan di Kantor Camat Buluspesantren tidak mendapatkan titik temu. Bahkan para wakil petani ini kesal dan geram meninggalkan tempat, kembali ke desa dan bergabung dengan massa aksi. Maka pembakaran ban bekas pun dilakukan persis di depan pintu masuk kompleks DislitbangAD. Api menyala dan asap hitam membubung bagai mendung tebal yang menyeruak langit Setro.
Mediasi Paska Aksi
Malam harinya dilangsungkan meeting dengan Pangdam IV/Diponegoro, Mayjen Langgeng Sulistiyono, dengan disaksikan Kapolda Jateng, Irjen Edward Aritonang. Meeting yang difasilitasi oleh Bupati Kebumen ini amat dibatasi waktu. Dan itu disadari oleh para delegasi petani, mengingat substansi yang menjadi tuntutan petani jelas tak dapat disederhanakan. Kalau pun hasilnya mengecewakan fihak petani, maka memang Pangdam ini tak punya kewenangan lebih, kecuali melaksanakan agenda ujicoba yang telah dijadwalkan atasan sebelumnya.
Delegasi petani kecewa dengan cara pandang Pangdam yang menilai substansi aksi penolakan terhadap ujicoba senjata berat (11/4) itu sebagai penolakan sebagian desa saja. Padahal selama ini berbagai upaya yang dilakukan warga melalui FPPKS, hingga 4 kali aksi demonstrasi pun sebenarnya merupakan tuntutan mayoritas petani UrutSewu yang mencakup 3 kecamatan. Tetapi terhadap opsi mengalihkan tempat ujicoba senjata berat, sepanjang itu masih di kawasan UrutSewu; petani tetap akan menolaknya.
Forum yang difasilitasi Asisten I Bupati, Adi Pandoyo, menyiapkan agenda lain yang lebih representatif untuk pembahasan lanjut. Tetapi bagi petani, merasa jika forum itu tanpa kehadiran institusi yang berwenang dalam hal penghapusan kawasan TNI, tetap bakal tak menghasilkan terwujudnya tuntutan akhir yang menjadi substansi penolakan kawasan hankam dan rencana tambang besi di UrutSewu. Semua ini juga pernah menjadi pilihan jalan yang dihasilkan paska aksi 14 Mei 2009; hanya waktu itu tanpa disertai tindak lanjut yang nyata.
Muncul Istilah Tanah Milik TNI-AD
Jika sejak kemarin-kemarin telah dimunculkan teori bahwa latihan TNI memanfaatkan “tanah negara”, kemudian muncul istilah “kawasan hankam”. Dan dalam aksi blokade yang nyaris memicu chaos ini, kini muncul secara terang-terangan sebutan “tanah milik TNI-AD”. Hal ini bakal menjadi penyebab kerawanan baru, karena ada filosofi yang masih lekat dalam ingatan kolektif petani UrutSewu. Sentimen kepemilikan yang sublim dalam pomeo “Sedumuk Bathuk Senyari Bumi” tak boleh diremehkan kemelekatannya.
Pertanyaannya, atas dasar apa, sejak kapan dan bagaimana prosesnya; jika TNI-AD akhirnya memiliki tanah di pesisir UrutSewu ini?
0 komentar:
Posting Komentar